#27 yura dengan segala keabu-abuannya

11.2K 1.2K 25
                                    

Kata orang, cinta hadir karena terbiasa. Terbiasa bersama, terbiasa berbagi cerita. Tapi anehnya, hampir delapan tahun Yura mengenal Bagas, terbiasa bersama Bagas, berbagi cerita dengan Bagas, perasaan cinta itu masih belum ada. Sejauh yang Yura rasakan saat ini sih, begitu. Tidak tahu nanti.

"Gue suka sama lo."

Yura menatap datar ke arah lawan bicaranya yang malah terkekeh.

"Lo becanda, ya?" tanya cowok itu.

"Emang gue kelihatan becanda banget, ya?" Yura menarik tipis sudut bibirnya. "Gue suka sama lo. Sejak dua tahun yang lalu. Tapi, gue baru berani bilang sekarang."

"Lo nembak gue?" Cowok itu menggeleng, "Maksud gue—lo kan cewek."

"Salah ya, kalo cewek yang nembak duluan?"

"Nggak kok," jawabnya cepat. "Lo, keren."

Yura tersenyum. Bahagia banget rasanya mendengar cowok yang dia suka memujinya keren. Agak berdebar juga. Yura merasa hatinya mendadak ditumbuhi bunga.

"Tapi, sori." Tanpa melanjutkan kalimatnya, ia menunduk sebentar.  Lalu menatap Yura dengan wajah menyesal.

Yura menghela napas. Seolah tahu maksud dari kalimat minta maaf yang keluar secara tiba-tiba itu. Seketika Yura mendadak sesak. Padahal beberapa waktu lalu tadi Yura merasa seperti terbang ke awan. Dan pas sudah sampai di awan, mungkin Yura bertemu burung elang. Tidak sengaja tabrakan sama Yura, dan membuat Yura terjatuh. Menggelinding ke jurang. Mati, dan sulit ditemukan. Ugh, menyedihkan.

"Gue ditolak, ya?"

Yura menunduk. Cowok itu menepuk bahunya. "Gue minta maaf, Ra. Lo pasti dapet cowok yang lebih baik dari gue."

"Sebaik apapun dia kalo gue tetep sukanya sama lo, gimana?" ujar Yura sekenanya. Ia sedih. Ditolak itu nggak enak banget rasanya. Memalukan juga.

"Lo bakal ngelupain gue, dengan adanya kehadiran seseorang yang selalu ada buat lo." Usai mengatakan itu, dia pergi. Cowok itu pergi. Yura masih sedih. Dadanya tak pernah sesesak ini. Ia duduk di pinggir lapangan sambil memeluk lutut.

"Hoi, Ra! Tau nggak, gue bawa apa?!" Bagas mengeluarkan sesuatu di balik punggungnya. "Taraaa! Gue bawa pai susu! Oleh-oleh dari Bali, nih! Sebenernya, tetangga gue yang abis pulang dari Bali. Itu si Bu Hamidah, yang hobi koleksi kucing. Terus, dia bagi-bagi oleh-oleh. Dan karena gue tau lo tergila-gila banget ama pai susu, makanya gue kasih ke elo."

Bagas mengernyit karena Yura tak segera mengambil pai susu di tangannya. "Ra! Nggak usah sok malu-malu deh, lo. Biasanya juga anarkis. Ini yang gue bawa pai susu, lho—Ra? Lo kenapa?"

Yura masih menyembunyikan wajahnya. Membuat Bagas khawatir terlebih bahu Yura mendadak bergetar. "Ra, lo nangis?!" ujar Bagas sambil menyentuh pelan lengan Yura.

"Yura..,"

Pada akhirnya, cewek itu mengangkat kepalanya. Matanya basah dan sembab. Tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya, Bagas menarik Yura dalam pelukan. Menepuk punggungnya pelan. Membiarkan bahunya basah karena ulah Yura. Tidak apa-apa. Asal Yura lega. Tepat setelah Bagas melakukan itu, bahu Yura semakin bergetar. Yura semakin menangis namun berusaha tak mengeluarkan suara.

Seperti biasa, bahu Bagas selalu jadi tempat ternyaman buat Yura. Tempat Yura buat menyembunyikan tangis, tempat Yura ketika sangat mengantuk dan tak menemukan bantal. Pelukan Bagas juga menenangkan. Mengingatkan Yura pada pelukan Mama.

Tapi, baik-baik begitu, kadang Bagas juga suka menyebalkan kalau Yura sudah sakit.

"Makan yang teratur, makanya. Jangan kebanyakan begadang nonton bola kenapa, sih!"

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang