Yura masih bergelung di atas kasur dengan selimutnya. Telinganya disumpal earphone walau tak ada satu musik pun yang terputar.
"Ra, Bagas di depan."
Yura mendengar suara Rani, tapi lebih memilih abai. Suasana kamar Yura hening sekali hingga helaan napas Mbak Rani pun terdengar. Rani berjalan menerobos pintu kamar Yura dan mencabut earphone di telinga kanan pemilik kamar itu. "Kamu nggak kasihan sama Bagas? Dia nungguin dari tadi."
Yura bergeming seolah tak ada niatan sedikitpun untuk bangkit. Rani langsung menutup pintu kamar Yura dan pergi dari sana. Ia menuruni tangga, dan ketika membuka pintu utama ia melihat ekspresi Bagas yang langsung ceria. "Kamu nggak masuk aja, Gas? Udah mau hujan lho," kata Rani.
"Yura yang nyuruh masuk? Saya tadi telepon dia berkali-kali tapi hape-nya nggak aktif," jelas Bagas sambil mengeratkan jaket di tubuhnya. Di luar dingin, mau hujan.
Rani menggeleng lemah, menandakan jika jawaban dari pertanyaan Bagas adalah tidak. "Yura nggak ngomong apa-apa," ujar Rani yang seketika membuat senyum Bagas menghilang. "Tapi, kamu masuk aja nggak papa—"
"Nggak usah deh, Mbak. Kalo gitu saya pulang aja." Bagas tersenyum lagi, tipis sekali. Setelah itu menyalakan motornya dan pergi.
Dalam perjalanan ke rumah, ia berpikir kenapa Yura seperti ini? Bagas senang Yura cemburu. Tapi ya gagitu juga! Jangan bikin Bagas merana juga, dong!
"Udah pulang?"
Rani melirik Yura yang melongok dari ambang pintu. Ia mengedarkan pandangan. "Telat, kamu. Udah pulang baru nyariin."
Yura mencebikkan bibir. "Ya habis gimana? Dia ngeselin. Masa Ayana mulu yang dia pikirin!"
"Emang kenapa, sih?!" sahut Bagas agak sewot.
"Sensi amat, sih! Gue kan cuma nanya doang tumben lo pulang malem. Gitu aja ngegas. Baru isi bensin, lo?!"
Bagas melirik Bima sekilas sambil melepas sepasang sepatu di kedua kakinya. "Ngapain lo nganterin Yura pulang tadi?"
Bima berhenti mengunyah kacang sejenak. Diliriknya Bagas dengan tampang tak enak. "Dia yang tiba-tiba naik motor gue, minta dianter pulang."
Bagas meletakkan sepatunya di rak. Ia bangkit dari duduknya. Berjalan ke arah Bima sambil menatapnya lekat. Bima menelan kunyahan kacangnya dengan susah payah. "Lo mikir apa?" tanya Bima.
Bagas belum mengalihkan pandangan. Masih menatap Bima lekat hingga tak lama kemudian terdengar dengusan.
"Dapet kiriman lagi, nggak?"
Bima mengedip. "Hah?"
Bagas mengusap perut. "Gue laper. Lagi pengin makan makanan manis. Kali aja lo punya macaroon kayak kemarin?"
*
Yura menyelonjorkan kaki sambil berbaring di atas ranjang. Malam ini, di kamarnya, dengan mata terpejam dan earphone terpasang di telinga, ponselnya memutar beberapa episode podcast. Akhir-akhir ini, Yura sering mendengarkan podcast jika sedang suntuk dan kalau-kalau ia sedang bosan mendengarkan lagu.
"Terkadang, kamu harus kehilangan seseorang sebelum akhirnya menyadari betapa berartinya dia dalam hidupmu."
Yura membuka kelopak matanya. kutipan ini lagi, entah kenapa ia sering mendengarkan ini. Sampai-sampai ia penasaran dan berpikir, seberapa penting Yura buat Bagas? Lebih pentingkah dari Ayana atau malah sebaliknya? Yura menghela napas. Ayana lagi. Kenapa nama cewek itu selalu terlintas di benaknya setiap dia memikirkan apapun? Yura tidak suka. Yura benci Ayana. Dia membuat Yura takut. Dia membuat Yura takut kehilangan orang yang selama ini berharga dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Teen FictionPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved