"Apasih, Win? Telepon-telepon mulu, dah! Udah kayak debtcollector aja lo!" Ayana menghela napas, lalu mengembuskannya gemas. "Iya, Wina bawel. Daripada lo ngomel nggak jelas, mending langsung berangkat, deh. Gue tunggu di kelas. Udah, ya, bye!"
Ayana memutus sambungan telepon kemudian menonaktifkan nada dering ponselnya. Sejak kemarin, Wina terus-terusan menerornya dengan panggilan dan rentetan chat puluhan kali atau bahkan sudah mencapai ratusan, ya? Entahlah, Ayana tak ingat. Yang jelas, semua pesan yang Wina kirim intinya sama semua. Menanyakan kabar.
Na, lo nggak papa?
Na, lo baik-baik aja, kan?
Are u ok?
Padahal perasaan Ayana tidak habis mengalami kecelakaan yang membuat dirinya mendadak geger otak, kaki tangan diamputasi atau semacamnya. Ayana hanya sedikit... sakit hati.
Ya, anggap saja begitu. Hal yang wajar apalagi untuk ukuran gadis remaja macam Ayana yang masih labil.
"Ayana..."
Langkah kakinya terhenti. Kepala Ayana masih tertunduk memandangi ponsel yang ia pegang. Tapi, ia tahu betul suara itu. Sangat mengenalnya. Dan Ayana tidak ingin bertemu. Apa ia harus kabur?
"Kemarin lo ke mana?" tanyanya lagi.
Ayana menggeleng pelan. Tidak. Ia tidak perlu kabur. Ia bukan pengecut. Ia bisa menghadapi ini.
Usai dirasa cukup memantapkan hati, Ayana mendongak. Ia melihat Bagas berdiri di sana, di dekat pintu kelasnya, dengan sorot mata khawatir. "Maaf, lo bisa minggir? Gue mau masuk kelas."
Ayana tak bersikap berlebihan. Tubuh Bagas memang menghalangi pintu. Ada sih, sedikit celah untuk bisa masuk. Tapi, hanya sedikit. Kalau Ayana memaksa masuk, nanti lengannya bersentuhan dengan lengan Bagas. Tidak boleh. Kan, bukan mahram.
"Lo belum jawab pertanyaan gue." Bagas melangkah mendekat, "Kemarin lo ke mana? Kenapa chat gue nggak dibales? Waktu gue telepon, lo nggak angkat."
Ayana menghela napas, "Harus, ya gue lapor semuanya ke lo tentang gue ngapain aja, gue ke mana aja?"
Bagas mengerjap. Baru kali ini Ayana ketus padanya. "Ayana... lo kenapa?"
Ayana memejamkan mata sejenak. Capek. Ia capek berurusan dengan Bagas. Kenapa semuanya jadi seperti ini? Kalau sejak awal Bagas tak mengenalnya seperti dulu, pasti semua akan baik-baik saja. Ayana jadi tidak perlu susah payah terlihat tak menyukai Bagas sementara yang ia rasakan malah sebaliknya.
Ia hanya tak mau semakin terlibat di dalam lingkaran yang tak seharusnya ia masuki sejak awal.
"Tolong minggir, gue mau masuk."
Bagas mendecak, "Sebenernya ada apa sih, Na? Lo kenapa? Kenapa tiba-tiba lo berubah kayak gini? Padahal perasaan kemarin kita baik-baik aja, kan?" Bagas mendengus melihat Ayana membuang muka ke arah lain tanpa mau menatapnya. "Gue ada salah sama lo? Atau apa lo marah, karena kemarin udah nunggu lama?"
Gemas karena Ayana tak kunjung menjawab, Bagas menyentuh lengan Ayana yang langsung ditepis oleh gadis itu. "Bisa nggak, berhenti gangguin gue?"
Bagas mengerutkan dahi, "Ganggu?" tak lama sudut bibirnya terangkat sebelah. "Selama ini gue gangguin lo?"
"Iya," tegas Ayana sambil mendengus kasar. "Selama ini gue bersikap baik sama lo karena gue merasa nggak enak," lanjut Ayana.
"Gue dateng kemarin karena Wina yang minta. Gue menghargai dia dan gue menghargai ajakan lo, di samping gue punya kesibukan lain yang nggak bisa gue tinggal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Ficção AdolescentePetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved