#55 menyesal

10K 1K 51
                                    

"Ayana!"

"Ayana?"

Ednan melihat Bima membuka pintu dengan wajah kebingungan. "Ayana ikut sama lo juga?"

"Goblok."

Bima melotot. Harga dirinya terlukai setelah mendadak diumpati anak ingusan begini. Padahal dia buka pintu baik-baik, lho. Salah Baim apa? Eh, bukan. Salah Bima apa?

"Lo—"

"Tolong sampaikan salam dari gue tadi buat adek lo. Makasih."

Usai mengatakan itu, Ednan langsung pergi. Bagas yang ingin tahu ikut menghampiri Bima yang masih berdiri di ambang pintu. "Ada apa sih, Bang?"

"Goblok."

"Hah?"

"Dia bilang titip salam buat lo."

*

Ayana berjalan menyusuri trotoar di samping suasana jalan sedang ramai sebab lalu lalang kendaraan. Ponselnya berdering. Namun, Ayana sama sekali tak memperdulikan. Enggan melihat nama si pemanggil.

"Ayana!"

Mendengar suara Ednan, Ayana mendecak dan semakin mempercepat langkah.

"Gue bilang mau pulang sendiri."

"Nggak. Lo berangkatnya sama gue, pulangnya harus sama gue juga."

"Nggak mau."

Ednan memarkirkan motornya di pinggir jalan. Mengikuti langkah cewek itu, kemudian berdiri di hadapan Ayana untuk menghadang jalannya.

"Na..,"

Ayana bergeming. Ditatapnya Ednan dengan wajah kesal. Namun perlahan, matanya berair. Ayana menunduk, menyembunyikan wajahnya dari pandangan Ednan. Walau percuma, Ednan sudah tahu kalau setetes air jatuh dari sudut matanya.

"Gue anterin pulang."

"Gue mau pulang sendiri!" pekik Ayana yang tanpa sadar mengundang perhatian orang-orang yang berada di halte.

Cewek itu mengambil tempat duduk yang kosong. Kepalanya masih menunduk. Ayana merasa bodoh. Buat apa juga dia menunggu selama itu kalau orang yang dia tunggu malah datang ke tempat lain?

Arghh, kenapa kisah percintaan gue sedrama ini, sih?!

Ednan tak tahu harus berbuat apa. Ia punya adik perempuan, namanya Adelia. Dan kalau Adelia menangis sebab Ednan iseng mengambil mainan Dora-nya, Ednan pasti langsung memberinya permen biar tidak jadi menangis. Tapi kalau untuk kasus Ayana ini—apa perlu diberi permen juga?

Ednan mendengus. Karena ia tak menemukan satu permen pun di dalam saku bajunya, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil tempat duduk di sebelah Ayana. Tanpa pikir panjang ia mengambil helm dari tangannya untuk dipasangkan ke kepala cewek itu.

"Lo ngapain?" tanya Ayana dengan suara terdengar serak.

Ednan juga tidak tahu dia sedang apa. "Nangis aja. Gue nggak lihat, kok."

Disuruh menangis begitu, bahu Ayana malah semakin bergetar. Dia benar-benar menangis. Ednan panik, tentunya. Padahal dia menyuruh Ayana menangis cuma basa-basi doang. Tapi kenapa malah nangis beneran?!

Ia menoleh sebentar untuk menutup kaca helm yang Ayana kenakan. Melihat arah tatapan mata orang-orang, Ednan menegakkan badan. Ia merentangkan tangan menutupi tubuh Ayana yang kecil dengan tubuhnya, agar terlindung dari orang-orang kepo yang berada di sana.

Sementara di ujung sana, Bagas melihat mereka berdua tanpa berniat mendekat sama sekali. Ia menjauhkan ponsel dari telinga, sebab lagi-lagi Ayana tak mengangkat panggilannya.

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang