#18 salah paham

12K 1.4K 52
                                    

"Kenapa senyum-senyum gitu?"

Bagas terkejut melihat Yura yang mendadak berdiri di hadapannya. Ia menghentikan langkah. Padahal tinggal sedikit saja ia mencapai pintu kelasnya.

"Eh, kamu ngapain ke kelas aku? Tumben."

Entah kenapa Yura merasa Bagas seperti mengalihkan pembicaraan. "Mau ngajak kamu makan bareng. Tapi, kayaknya kamu habis dari kantin, ya?"

Bagas meringis. "Iya, habis makan barusan." Mendadak ia teringat, "Katanya kamu mau makan bekal di kelas aja."

Yura mengendikkan bahu. "Nggak jadi. Mendadak pengin makan sama kamu aja."

Bagas menarik sudut bibir. Yura membuatnya tersipu, dan itu sangat jarang terjadi. Hampir tak pernah. Sebab walau mereka pacaran, Yura tak pernah bersikap manis kalau Bagas tak memulai. Walau Bagas sudah memulai pun, kadang ia tak mendapat balas perlakuan manis juga.

Berbanding terbalik antara kenyataan sebenarnya dengan apa yang selama ini terlihat orang. Kalau orang-orang di sekitar mereka berpikir jika mereka pasangan yang begitu manis, Bagas malah berpikir sebaliknya. Hubungan mereka hambar. Dan memang itu yang terjadi.

Padahal hampir satu tahun hubungan mereka berjalan dan sudah delapan tahun mereka saling mengenal, sebab Yura dan Bagas memang sudah berteman sejak kecil. Tapi, entah kenapa Bagas selalu merasa kalau dia dan Yura itu jauh sekali. Seperti ada sekat yang memisahkan.

Hingga sesuatu yang mengejutkan Bagas terjadi kemarin malam. Saat Yura tiba-tiba memeluknya. Dan sejak saat itu, Bagas merasa ada yang aneh. Aneh ketika Yura mendadak memeluknya, tentu saja. Aneh ketika Yura mendadak sering tersenyum padanya, sampai hari ini...

"Temenin aku makan, ya?"

...Yura mengenggam tangannya.

Bagas tak tahu apa yang salah dengan Yura. Gadis itu memang nampak ceria dan ramah di hadapan semua orang. Tapi saat di depan Bagas, ia benar-benar bertransformasi menjadi orang yang sangat berbeda. Cenderung cuek dan tak begitu peduli.

Ketika Bagas ulang tahun pun, bukan Yura orang pertama yang mengucapkan. Ia jadi orang kesekian setelah Papa, Mama, Bang Bima, dan teman-temannya. Dan soal kado ulang tahun, Bagas tak terlalu suka, sebenarnya. Yura tak mengenal Bagas walau sekedar hal-hal kecil. Bagas lebih suka potret daripada lukisan. Karena menurutnya, lebih terlihat sederhana dan apa adanya. Namun karena Yura yang memberi, dengan senang hati ia menerima. Walau Yura sempat marah saat Bagas menciumnya, Bagas tetap bahagia. Setidaknya Yura mengingat hari ulang tahunnya.

*

Ayana merengut. Ia berjalan menyusuri lorong sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal. Tak lama, Ayana mendengar suara cekikikan.

"Lo mirip anggota barisan gerak jalan," sindir Ednan.

Ayana melotot. "Kenapa sih, lo hobi banget nyuruh-nyuruh gue?!"

"Gue cuma minta tolong."

"Minta tolong kok setiap hari."

Ayana mendengus. Kesal sebab Ednan mengganggu acara malas-malasannya di kelas yang lagi menikmati jam kosong sambil nonton drakor. Apalagi tadi adegannya lagi seru banget. Dan Ednan dengan segala kekurang ajarannya merebut ponsel Ayana sambil mohon-mohon minta bantuan buat mengumpulkan buku tugas Sejarah ke Bu April. Padahal cuma tumpukan buku tulis tipis. Dan Ednan juga tidak akan sampai sakit lengan karena membawa tumpukan buku yang tak seberapa itu.

Ednan menghentikan langkah. Ayana ikut-ikutan. Ednan menghela napas sebentar sebelum mengatakan, "Membantu orang yang kesusahan itu perbuatan baik. Dan orang yang suka berbuat baik itu adalah orang baik. Dan surga, itu isinya orang-orang baik. Emangnya lo nggak mau masuk surga?"

Malah bawa-bawa surga, lagi.

"Lagian, Bu April tuh mau ketemu lo."

"Ngapain?"

Ednan mengendikkan bahu, "Mana gue tahu."

Setelah itu, Ednan melanjutkan langkah. Ayana mengikutinya. Mereka berjalan beriringan, dengan Ednan yang sesekali tersenyum menanggapi sapaan orang-orang. Walau menyebalkan begitu, Ednan itu terkenal. Siapa sih, yang tidak kenal Ednan Adhitama si Calon Ketua Osis? Temannya banyak dimana-mana. Teman cewek, apalagi. Ednan bahkan terkenal di kalangan kakak kelas. Wina pernah cerita kalau Bima bilang hampir semua cewek di kelasnya mengatakan jika Ednan itu cowok idaman. Cih, mereka belum tau aja, dia itu otoriter! Buktinya gue tersiksa sekarang! Walaupun begitu, Ayana tak pernah dengar berita kalau Ednan punya pacar. Berita dia sedang dekat dengan cewek saja tidak ada. Padahal yang naksir dia banyak. Kira-kira kenapa, ya? Jangan-jangan Ednan tidak normal?

Aish, Na, berhenti berpikiran ngawur, deh!

"Gimana pendapat lo tentang Bagas?"

Ayana menghentikan langkah. Ia menatap Ednan yang ikut berhenti berjalan juga. "Kenapa lo tiba-tiba ngomogin Bagas?"

Ednan tak langsung menjawab. Namun, tatapannya tertuju pada sesuatu dan ketika Ayana mengikuti arah pandang Ednan, ia menemukan Bagas dengan seorang cewek di sana. 
"Menurut lo, dia terlalu baik jadi orang nggak, sih?"

Bagas mengambil tiga perempat tumpuk buku di tangan cewek itu, lalu memindahkan ke tangannya. "Bukan cuma care, dia juga senyum ke semua orang. Apa menurut lo nggak berlebihan? Orang-orang bisa salah paham."

Ayana mengernyit, tak mengerti. "Maksud lo?"

"Lo lihat cewek itu?" Ednan menarik sudut bibir sebentar, "Oke, anggap aja bantuin orang yang keberatan bawa buku itu hal yang lumrah. Menolong orang itu hal yang wajar. Wajib malahan. Tapi, bisa lo lihat ekspresi cewek itu setelah Bagas bantuin dia?"

Ya, Ayana melihat cewek itu tersenyum. Mengikuti langkah Bagas di depannya, sampai mereka jalan beriringan. "Cewek baperan itu udah kodrat, Na. Karena mereka emang mengedepankan perasaan," tambah Ednan. Dalam hati, Ayana membenarkan.

"Kalo aja lo yang ada di posisi cewek itu, gue yakin 99,9% lo bakal baper juga."

Ayana menoleh cepat. "Nggak! Siapa bilang?"

"Oh, ya?"

Ayana mengangguk yakin. "Gue nggak bakal baper secepat itu cuma karena dibantuin bawa buku doang. Apaan, sih. Haha, lucu lo!"

Entah kenapa, Ayana merasa tersindir. Tentang Bagas yang sering mengajaknya mengobrol selama ini, membantunya membetulkan motor yang mogok, memberinya air mineral, membalut lukanya, itu semua semata-mata hanya karena Bagas merasa Ayana membutuhkan pertolongan. Soal sering mengajaknya bicara, tidak ada yang salah dengan itu. Bagas suka berbicara. Ia terkenal mudah bergaul dan ramah kepada semua orang. Sama seperti Yura. Mereka memang serasi.

Dan tentang usapan mengejutkan di kepala Ayana beberapa jam lalu di kantin, sama sekali tak berarti apa-apa. Benar kata Ednan, Ayana hanya terbawa perasaan.

Usai mengumpulkan tugas dan mengobrol lumayan panjang dengan Bu April, Ednan tak langsung melepaskan Ayana. Ia malah mengajak Ayana pergi ke perpus dengan dalih menyicil tugas kelompok dari Pak Hendry tempo hari. Bisa dilihat respon Ayana. Cewek itu lagi-lagi menghentakkan kaki seperti barisan gerak jalan.

"Bisa nggak, kerja kelompoknya diundur aja? Adegan drakor gue lagi seru-serunya! Song Jongki sama Song Hyeko hampir ciuman, tau!"

Ednan mendengus. "Nggak bisa. Lagian Song Jongki sama Song Hyeko itu udah cerai, mana boleh ciuman?"

Ayana menatap Ednan kesal. Mau tak mau, ia mengikuti Ednan yang sudah membuka pintu perpustakaan. Cowok itu tersenyum pada penjaga perpus sebelum melewati rak-rak buku. "Gue janjian sama Yura. Dia udah nunggu daritadi di perpus. Kalo nggak jadi 'kan kasihan dia nunggu lama-lama. Nah, itu dia!"

Lagi, Ayana mengikuti arah pandang Ednan. Ia melihat Yura duduk dengan sebuah buku di atas meja di sana. Tapi, cewek itu tak sendirian. Alih-alih Yura menyapa duluan, Ayana malah melihat Bagas melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

"Hai, Ayana!"

Lagi, Bagas membuatnya salah paham untuk kesekian kali.

Dengan santainya, Bagas menarik tangan Ayana agar duduk di sebelahnya. Padahal, Yura duduk di seberangnya dan tengah menatap mereka berdua.

[]

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang