#12 sebuah ucapan

13K 1.8K 60
                                    

Ayana benar-benar sepenuhnya kehilangan mood hari ini. Sedari tadi yang dilakukan hanya corat-coret kertas sambil menyumpal telinga dengan lagu-lagu bertempo cepat dan berisik. Kalau kegiatan belajar mengajar sedang dimulai, ia mendengarkan dengan dagu yang ditopang. Pas jam istirahat diajak makan ke kantin saja enggan.  Ditraktir Wina sebungkus permen juga Ayana tidak mau makan. Wina jadi agak khawatir.

"Na, lo nggak ada niatan buat bunuh diri, kan?" Wina berbisik. Takut kalau Pak Hendry dengar dan alhasil nanti ia yang disuruh keluar.

Ayana menghela napas sebelum menjawab. "Kalo gue meninggal nanti elonya keenakan nggak bayar utang."

"Eiy, gue ngutang cuma sekali, juga."

"Iya. Tadi sekali. Kemarin sekali. Seminggu yang lalu juga sekali."

Wina meringis lebar. Sementara Ayana keheranan. Wina itu anak orang kaya. Apartemen pribadi saja punya, tapi masih saja hobi ngutang ke Ayana.

Bel pulang berdering bersamaan dengan Pak Hendry yang mengucap beberapa patah kata sebelum meninggalkan kelas. Sementara Ednan mengambil alih atensi penghuni kelas. Memberitahu jika akan ada pembentukan kelompok untuk jam pelajaran Pak Hendry di hari selanjutnya. Wina mencolek bahu Ayana. Memberi kode agar Ayana mau merekrutnya dalam satu kelompok yang sama.

"Lo nggak bosen emang, sekelompok sama gue terus?"

Wina menggeleng cepat merespon pertanyaan Ayana. "Nggak, lah! Sekelompok sama lo itu adalah sebuah anugerah. Gue nggak bisa hidup tanpa lo, Na. Lo tahu itu."

Ayana memutar bola mata. Benar memang. Wina tidak bisa hidup tanpa Ayana. Siapa lagi yang mau menampung anggota kelompok yang kerjaannya cuma titip nama doang seperti Wina kalau bukan Ayana? 

"Kelompoknya milih sendiri, Ed?" Yura bertanya, membuat Ednan menggelengkan kepala.

"Kelompoknya udah ditentuin."

Wina seketika melotot tak suka. "Kok gitu?! Biasanya juga milih sendiri!"

"Pak Hendry yang minta."

"Nggak bisa gitu, dong! Nggak adil!"

Wina dan Ednan terlibat percekcokan singkat. Wajar, sih. Wina itu enggan berpisah sama Ayana. Apalagi kalau ada tugas kelompok begini. Kalau ia tidak sekelompok sama Ayana pasti akan repot. Nanti ia ikut disuruh ngerjain. Wina 'kan sukanya santai-santai doang sambil makan snack.

"Ayana, lo sekelompok ama gue," sahut Ednan. Memancing rasa dengki Wina yang semakin menjadi-jadi.

Ayana menepuk bahu Wina. Menyuruhnya berlapang dada. Akhirnya Ayana bisa bernapas lega juga. Sekelompok sama Wina itu benar-benar ibarat sebuah kutukan. Ayana sudah kenyang. Lagipula, ia juga ingin melihat Wina belajar agar tak terlalu bergantung pada seseorang.

"Berdua doang?"

Ednan menggeleng. "Enggak. Kita bertiga, kok."

Ayana tak terlalu peduli juga dengan siapa ia berkelompok. Toh, Ednan juga bukan patner yang buruk. Namun, jika sekelompok dengan Wina diibaratkan Ayana sebagai kutukan, justru kalimat singkat yang dilontarkan Ednan benar-benar terdengar seperti kutukan sungguhan.

"Kita sekelompok bertiga, sama Yura."

*

"Lo beneran nggak mau nebeng gue, Na?"

"Enggak. Gue bawa motor."

"Nebeng gue aja, lah. Motor lo tinggal aja. Gue takut lo kenapa-kenapa. Nanti kalo lo tiba-tiba berubah pikiran dan mendadak pengin bunuh diri, gimana?"

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang