Ayana mengembuskan napasnya kasar. Sudah hampir setengah jam ia di sini dan hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda reda atau minimal gerimis. Sementara Bagas sudah ia suruh pergi tadi. Katanya, ia mencari Yura. Jadi, Ayana bilang saja kalau Yura di kelas. Karena terakhir kali Ayana lihat Yura hari ini ya di kelas. Ayana bahkan meminjamkan payungnya ke Bagas. Toh, kalau Ayana pakai payungnya ke parkiran juga percuma. Dia nggak bawa jas hujan. Ya kali mau naik motor pakai payung?
"Ayana...., mau bareng pulang, nggak?"
Yang dipanggil menoleh dengan mata melebar kaget. "Lho, kok hujan-hujan? Kan udah gue pinjemin payung?" tanyanya dengan dahi berkerut. Dilihatnya seragam bagian atas Bagas yang sudah setengah basah. Sementara payung yang Ayana pinjamkan tadi terlihat tak berguna di tangan cowok itu. Setelahnya, Ayana melihat Bagas tersenyum.
*
"Motor gue beneran nggak papa?" tanya Ayana usai mereka di dalam mobil Bagas selagi cowok itu memasang seatbelt.
"Kan udah gue bilang, aman, tenang aja."
Ayana mendengus. "Kalo sampe ilang, lo harus tanggungjawab. Beliin gue motor baru, nggak mau tau!"
Bagas terkekeh. Dilihatnya Ayana yang lagi pasang tampang sebal sambil memakai seatbelt. Setelah itu, suasana du dalam mobil jadi hening. Yang terdengar hanya suara hujan dari luar yang masih deras sekali.
Ayana yang sadar akan suasana yang canggung ini mulai memutar kepalanya menoleh ke arah Bagas. Cowok itu masih menatapnya dan belum menyalakan mesin mobil. "Apa?!" sahut Ayana galak. Hingga tatapannya jatuh pada seragam bagian atas Bagas yang basah. Ayana pikir, pasti nggak nyaman. Dia bisa masuk angin. "Baju lo..."
"Kenapa?" Bagas mengikuti arah pandang Ayana ke bajunya yang lembap lalu ditatapnya Ayana kembali. Hawa dingin menyeruak sekalipun mereka sudah berada di dalam mobil dengan AC yang belum dinyalakan. Dengan gerakan cepat Bagas melepas satu persatu kancing kemejanya. Ayana yang melihat itu langsung melotot dan membuang muka.
"Lo ngapain?!"
Ayana mendadak panik. Jantungnya berdetak kencang sekali. Untung saja masih hujan. Kalau tidak, Ayana khawatir Bagas bisa mendengar karena saking kencangnya. Tapi—hei, wajar aja dong kalau Ayana bereaksi seperti itu melihat Bagas yang mendadak kurang ajar begitu! Syukurnya tadi Ayana tak melihat apa-apa. Dia cuma sempat melihat kaos hitam polos yang Bagas pakai di balik kemejanya. Namun tak lama setelah itu, terdengar bunyi srak yang mungkin saja dihasilkan dari kegiatan Bagas buka baju tadi? Atau mungkin... kaosnya? Ayana memukul dahinya berkali-kali. Otak gue kenapa, sih?! Kenapa jadi mikir ngalor ngidul begini, coba?! Tak lama, Ayana merasakan embusan napas di dekat lehernya. "Ayana, pipi lo merah."
Ayana yang terkejut beringsut menjauh hingga kepala bagian belakangnya terantuk bantalan kursi. Ayana memeluk erat tas ranselnya kuat-kuat sambil melirik Bagas yang sudah mengganti kemejanya tadi dengan sweater abu-abu hangat yang entah dia dapat dari mana. Akhirnya cewek itu bisa bernapas lega walau tak bisa dibilang cukup lega juga. "Ayana, lo nggak papa?"
Ayana melirik Bagas sengit melihat raut wajah cowok itu. Bagaimana dia bisa bertanya dengan santai begitu sementara Ayana lagi sekarat dan hampir mati karena jantungnya nyaris copot tadi?! Dengan amarah yang memuncak keubun-ubun, Ayana membalaskan dendam. Ia pukul Bagas bertubi-tubi dengan tas ranselnya yang isinya buku paket semua. Biar tau rasa! Biar mati sekalian!
"Ayana, lo kenapa, sih?! Kenapa gue dipukulin?!"
"Lo yang kenapa?! Ngapain ganti baju di depan gue?!"
"Ya... gue pikir lo tadi nyuruh gue ganti baju biar nggak masuk angin. Kan baju gue basah."
"Ya nggak di depan mata gue juga, dong?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Dla nastolatkówPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved