Ayana menguap. Cewek itu tertawa saat melihat Wina yang masih menatapnya dengan mata sembab. “Lo nggak pulang? Udah malem.”
“Lo...,” Wina mengusap ingusnya dengan tisu. “Udah nggak marah sama gue, kan?”
“Gue nggak pernah marah sama lo.”
“Beneran?"
“Atau mau nginep di sini?”
“Boleh?”
Ayana bergumam, “Kalo nyokap lo ngebolehin, sih.”
“Pasti boleh!”
Ayana mendengus geli. Ia agak kaget tadi melihat Wina tiba-tiba datang malam-malam ke rumahnya dengan wajah mewek.
“Gue minta maaf, Na. Gue sama sekali nggak berniat menyembunyikan apapun dari lo. Gue nggak bilang soal itu karena menurut gue nggak penting aja buat lo tau. Lagian gue juga pernah nginep di rumah Bagas, kok. Pas ada Yura juga. Ada banyak sepupunya juga.” Kira-kira begitu cuitan panjang lebar Wina untuk meluruskan kesalahpahaman dengan Ayana di sekolah tadi.
Padahal, Ayana tak begitu ingin tahu, kok. Dia cuma...., sedikit kaget.
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kedekatan Yura dengan Bagas tidak bisa dianggap main-main, kan? Maksudnya—mereka sudah putus, tapi agenda inap-menginap itu masih menjadi hal yang biasa. Seolah status pacaran itu memang hanya sekadar status. Tak berpengaruh pada kedekatan mereka walaupun status itu sudah tidak ada lagi.
Ayana mengacak rambutnya kasar. Cukup sudah ia memikirkan banyak hal sejak tadi. Ia cuma mau tidur. Kalau suka sama Bagas bikin insekyur kayak gini, tau gitu mending Ayana balik suka sama Kang Daniel aja lagi. Gak ribet!
*
Ayana menghindarinya.
Begitu yang Bagas tangkap dari perilaku cewek itu tiga hari terakhir ini.
Ayana sudah tak pernah lagi terlihat makan di kantin bersama Wina, tidak juga membalas chat-nya, mengobrol di telepon apalagi. Ayana pun tak pernah menampakkan batang hidungnya di kafe. Tak pernah terlihat datang untuk sekadar mengerjakan PR-nya di kafe maupun memakai wifi gratis untuk mengunduh drakor seperti biasa. Kata Jonathan, ia juga tak ada menjenguk Banana.
Bagas jadi sendirian di sana. Seperti jomblo. Sambil ngelusin rambut Banana selagi makhluk itu memakan makanan kucingnya.
“Ayana nggak ke kantin?” tanya Bagas pada Wina yang sudah duduk bersama Bima di satu meja yang sama.
Wina menggeleng.
“Kenapa?”
“Bawa bekal.”
Bagas mengembuskan napasnya panjang. “Kok gue ngerasa dia ngejauhin gue, ya?”
Bima melirik sekilas. “Bau kali, lo. Makanya dia nggak mau deket-deket.”
Bagas menyumpal mulut Bima dengan gunpalan tisu ketika Bima membuka mulut untuk menyambut suapan baksonya. Bima sampai terbatuk. “Sarap lo, ya!”
Wina mengunyah pelan baksonya sambil berpikir. Ia juga merasa ada yang aneh dengan Ayana. Kalau biasanya cewek itu nampak terus-terusan senyum seperti orang gila, beberapa hari terakhir ini ia malah terlihat tanpa ekspresi. Wina tak pernah bertanya karena ia ingin menghargai Ayana. Kalau memang Ayana enggan bercerita, Wina tak akan memaksa. Sebab Ayana akan cerita jika ia merasa perlu untuk menceritakannya.
“Hai, boleh gabung?”
Saat menengadah, ia melihat Yura dengan senyumnya, seperti biasa. Usai mendapat anggukan antusias dari Bima, Yura mengambil tempat duduk di samping Wina. Sekelebat dugaan mendadak muncul di kepala Wina. Ia jadi berpikir, “Apa karena Yura?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Dla nastolatkówPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved