Radi's Pov
Lagi. Aku mengusap peluh yang membanjiri wajahku. Terik matahari seakan tak memberi ampun siang ini, bahkan awan pun seakan enggan berani menutupnya barang semenit saja. Aku meletakkan tas punggung di samping, bersandar di bangku halte. Pandanganku lurus ke depan menyaksikan keramaian di sepanjang jalan, kendaraan yang hilir-mudik tanpa bosan, sesekali ada angkutan berhenti. Sayangnya, angkutan itu bukan tujuanku.
Semeter dari tempat aku duduk terdapat seorang wanita muda yang sepantaran denganku. Duduk di ujung bangku memegang sebuah koper sedang. Sesekali ia mengelap keringat dengan ujung jilbab panjangnya. Benar saja, siang ini bukan hanya aku yang merasakan sengatnya matahari.
"Pulang kampung ya?" aku basa-basi.
Pandangannya mengarah padaku, "Nggak, Kak," tersenyum.
"Kopernya?" Mataku menunjuk koper biru muda sedari tadi ia pegang.
"Ah! Ini. Saya mau ke pondok," ia menjelaskan.
"Belajar ilmu agama ya selama Ramadan?"
"Eh, gak tahu juga. Saya cuma mau ke rumah saudara Ummi saya."
Oh. Aku mengangguk paham. Kembali menikmati suasana jalanan yang sedang ramai-ramainya di depan sana.
"Kakak sendiri?"
Aku kembali menatapnya, "Emm, mau ke kampungnya orang. Hehehe."
"Mubalig?"
"Eh, kok tahu?" heranku, padahal aku belum memberitahu.
"Pakaian Kakak mengatakan kalau Kakak mubalig. Lagi pula, tiap tahun desa saya juga sering kedatangan mubalig bila menjelang Ramadan. Kakak dari pesantren ya?" terkanya.
"I-iya," jawabku.
Wanita itu tersenyum. Benar-benar wanita cerdas.
"Kamu tinggal di—"
"Mobil saya sudah tiba, duluan ya, Kak. Assalamualaikum." Perkatanyaannya memotong pertanyaanku yang setengah berucap begitu sebuah mobil hitam mengkilap terparkir tepat di depan kami. Wanita itu segera menarik kopernya, memasukkan dalam bagasi mobil.
"Waalaikumussalam," jawabku.
Sempat tersenyum padaku, sebelum akhirnya masuk ke mobil yang akan membawanya ke pondok yang ia tuju. Sedikit kecewa karena tak sempat berkenalan dengan dirinya. Kembali aku mengedarkan pandangan, menenggelamkan diri pada hilir-mudiknya pengendara di jalanan.
⸙⸙⸙
Uni's Pov
Udara segar langsung menerpaku saat membuka sedikit jendela mobil, merayuku untuk terlelap namun mataku pun sepertinya tak mau kalah ia mencoba mengalahkan terpaan angin yang begitu menggoda. Memaksa tetap terbuka, menikmati pemandangan yang tersaji sepanjang perjalanan. Pohon-pohon yang berbaris rapi terlihat berlari-larian, satu-dua kulihat hewan menyeberang di jalan, entah itu sapi, kambing, atau ayam.
Aku menghela napas begitu melewati batas perkotaan. Itu artinya sudah dua jam aku meninggalkan halte dan tersisa empat jam lagi untuk sampai di tempat tujuan. Pondok. Entah alasan apa yang membuat Etta tiba-tiba mengirimku ke sana, terlebih harus tinggal di rumah saudara Ummi. Padahal perasaan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa yang begitu fatal, masa iya aku disuruh ikut pesantren. Itu amat menyebalkan.
Aku menyandarkan kepalaku, membiarkan angin menerpaku sepuasnya. Seketika aku teringat di halte tadi, tepatnya dengan seorang pemuda yang menyapaku saat menunggu mobil. Aku tidak terlalu memperhatikan wajahnya, tapi aku tahu kalau ia dari pondok pesantren. Melihat ia memakai gamis, seketika aku langsung menyimpulkan kalau dia akan jadi mubalig di salah satu pelosok desa selama Ramadan hingga hari raya Idulfitri nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...