Episode 36

278 30 0
                                    

Radi's Pov

Usai salat Zuhur, aku tak langsung pulang. Aku memutuskan untuk berdiam di masjid beberapa waktu sembari mengulang-ulang hafalanku.

Kak Ayyas sudah pulang usai salat tadi, meninggalkan aku, Abi, dan Fung Ishaq. Katanya ia harus menghubungi pengawainya dan ponselnya ketinggalan di rumah Fung Ishaq.

Sementara Abi dan Fung Ishaq, nampaknya mereka belum pulang. Suaranya masih jelas terdengar dari dalam, kemungkinan mereka sedang berbincang-bincang dengan seseorang di luar sana—tepat di teras masjid.

Selesai mengulang hafalanku, aku melihat arlojiku. Di sana telah menunjukkan pukul 1 siang. Aku segera bangkit dari dudukku dan meninggalkan masjid.

Keadaan masjid sudah sepi, bahkan saat selesai salat Zuhur didirikan. Tersisa aku yang memang senang berdiam diri di dalam masjid. Rasanya tenang saja.

Saat keluar, aku kaget mendapati Rehan. Sepertinya ia juga menunaikan salat di tempat yang sama denganku. Setahuku masjid ini hanya dikunjungi oleh penghuni pondok dan sekitar pondok atau orang-orang yang berkunjung di pondok ini apabila bertepatan dengan waktu salat. Apa mungkin Rehan punya kerabat di sekitar sini? Ya jawabannya tentu saja mungkin.

"Eh, Rad? Kamu di sini juga?" tanya Rehan tak percaya begitu melihatku baru saja keluar dari masjid. Ia memakai sandalnya, kemungkinan ia baru-baru juga keluar dari masjid.

"Iya, Rey. Lagi kunjungan ke rumah keluarga. Kamu?"

"Aku nganterin Fung Anwar ke rumah sahabatnya," jawab Rehan.

"Silaturahmi?" tanyaku memastikan.

"Tentu saja, Rad. Kau tahu, Uni akhirnya menerima rencana perjodohan itu."

Aku mengangguk, tanpa diberitahu pun firasatku sudah mengatakan demikian.

Kami berjalan beriringan menyusuri jalan setapak, meski matahari belum beranjak jauh dari atas kepala namun kami tak merasakan kepanasan sama sekali sebab setiap jalan di tanami pepohonan.

"Ini bukannya tempat kamu mondok semasa aliyah ya, Rad?" tanya Rehan dalam perjalanan.

"Iya, Rey. Rencananya juga lokasi penelitianku di sini, biar gak ribet. Aku sudah ngomong sama Fung Ishaq, kata beliau gak masalah."

"Masyaallah, kayaknya bergerak cepat nih."

Aku menanggapi dengan tersenyum.

"Ini lapangan paling luas di pondok ini, lapangan serba guna lebih tepatnya. Soalnya bisa dijadiin lapangan upacara setiap hari Senin, lapangan futsal, volli, takraw, bulu tangkis, dan sebagainya. Bisa juga kita memakai lapangan ini dengan dua permainan, tinggal disesuaikan mau main apa," jelasku begitu terhenti pada sebuah tanah lapang yang luas. Seketika bayangan semasa aliyahku memenuhi kepalaku.

"Kalau dipinggir sana itu kelas ya?" Rehan menunjuk bangunan sisi kiri lapangan.

"Iya, kelas sepuluh, di depan sana kelas sebelas, terus sisi kanan lapangan kelas dua belas."

"Kalau asramanya?"

"Asramanya ada di belakang rumah Fung Ishaq, kau mau ke sana?"

"Hmm, enggak sudah deh. Kita keliling saja," ucap Rehan mengambil keputusan.

"Baiklah," aku menuruti permintaan Rehan. Mengelilingi lapangan sebentar sepertinya tidak masalah, terlebih lagi tamu Fung Ishaq belum juga datang. Sesekali aku bernostalgia dengan pondok ini, sudah tiga tahun aku menjadi alumni dan keadaannya masih saja sama, tidak berubah sama sekali.

"Aku baru sadar, ternyata di tempat terpencil ini ada pondok. Kalau aku tahu, mungkin aku akan memutuskan mondok di sini dari pada di kota," ujar Rehan mengamati sekitar.

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang