Uni's Pov
"Serius, Etta?" Seketika mataku melotot mendengar pernyataan Etta.
"Insyaallah, Nak. Semoga tidak ada halangan."
"Kak Rehan bagaimana?" tanyaku sedikit ragu. Mengingat kedatangan Kak Rehan ke sana kan buat nemenin Etta, kalau Etta kemari lantas Kak Rehan gimana dong?
"Dia gak mau ikut, mau temenin kawannya kebetulan yang jadi mubalig di sini itu temannya kakakmu."
Mendengar jawaban Etta, seketika aku merasa seneng banget. "Oke, Etta."
"Ya sudah, kamu belajar yang baik di sana. Assalamualaikum."
"Waa...." Belum sempat aku menjawab salam Etta, beliau sudah memutuskan panggilannya.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," ulangku lantas meletakkan sembarangan HP-ku kemudian keluar gabung dengan anak-anak yang lain.
Begitu gabung, aku langsung mengambil sebuah novel yang tergeletak di atas meja lalu membacanya. Tak mengganggu kegiatan yang lain, aku memilih tenggelam dalam alur cerita yang dibuat penulisnya, hingga tak sadar kalau anak-anak yang lain sudah bubar.
"Kak Uni, jadi gak?" tanya Gea menghampiriku.
Aku mengerutkan dahiku, tak mengerti.
"Jalan-jalan," ucapnya pelan nyengir.
"Oh iya, hampir lupa. Jadi, dong!" aku langsung bangkit bersiap-siap.
"Eh, yang lain pada ke mana?" tanyaku melihat rumah Fung Anna tiba-tiba menjadi sepi.
"Ada yang di kamar, ada di belakang rumah, ada yang keluar juga sih."
"Oh, ya udah. Ayo jalan-jalan! Kayak kemarin kan?"
"Yup, Kak!" seru Gea berjalan dengan riang di sampingku keluar rumah.
Aku sedikit tersenyum melihatnya, anak ini tidak jauh beda denganku—sangat menyukai sastra. Sastra itu sudah menjadi bagian dari diriku. Kadang aku mikir, kalau akhirnya aku menikah. Aku mau sosok pendampingku itu juga menyukai sastra, seserahannya nanti itu buku sastra, terus di rumah kami akan ada perpustakaan pribadi dan isinya buku-buku favoritku dan buku favoritnya. Kita habiskan waktu bersama di sana setiap akhir pekan. Uucchhh.., so sweet.
"Kak Uni kenapa senyum-senyum?" tegur Gea mendapatiku senyam-senyum tak jelas di perjalanan.
"Ah! Gak apa-apa, Dik. Gak sabar saja ketemu sama Kak Nunii," ngelesku.
"Owalah, Gea juga, Kak," ucapnya tersenyum.
Aku membalasnya dengan tersenyum. Untung aja gak curiga ini anak. Huft! Selamat-selamat.
⸙⸙⸙
Radi's Pov
Usai mengulang hafalanku, aku beranjak keluar kamar. Di ruang tamu kudapati Laras sedang main HP, sadar dirinya kuperhatikan Laras memperbaiki posisi duduknya yang tadinya menjulurkan kaki di atas meja menjadi menurunkan kakinya.
"Bapak sama Ibu ke mana, Dik?" tanyaku sedikit canggung sebab ini kali pertama aku bertanya kepadanya semenjak tinggal di sini.
"Masih di kantor, Kak," jawab remaja SMA itu.
"Oh gitu. Kalau Bapak sama Ibu nanyain Kakak, Kakak ke rumah Rehan," ucapku.
"Baik, Kak."
"Assalamualaikum," pamitku keluar menuruni tangga.
"Waalaikumussalam."
Aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Rehan. Eh! Maksudku rumah Fung Anwar (Rehan kan belum punya rumah, kok lupa gini sih). Ini kali pertama aku berjalan kaki agak jauh (sendirian maksudnya).
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...