Uni's Pov
Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar, tak mengindahkan ajakan Gea untuk keluar. Rasanya aku malas bergabung dengan anak-anak yang kedengarannya sedang berkumpul di ruang tamu. Jelas sekali suara seruan Narti atau intonasi suara Tari yang beda dari pada yang lain memecah keheningan rumah Fung Anna.
Aku meng-scroll layar HP-ku dari atas ke bawah, membaca update status teman-teman media sosialku sambil baringan. Lalu, beralih ke aplikasi merah muda keungu-unguan memperhatikan foto-foto yang di-posting dari akun-akun yang aku follow. Tak lama kemudian, terbesit keinginanku untuk meng-stalking akun dari sosok yang selama ini memikatku. Tanpa pikir panjang, aku langsung beralih ke akunnya yang sampai sekarang sama sekali tak berniat mem-follow balik akunku. Hiks! Menyedihkan sekali.
Selama Ramadan, ada beberapa foto terbaru yang ia posting di media sosialnya. Entah itu foto saat ia di masjid, ngabuburit, dan tentu saja foto candid-nya saat menikmati senja di pinggir jembatan membuatku senyam-senyum tidak jelas. Bagaimana tidak? Senyumnya amat manis sekali. Sungguh, aku terpedaya dibuatnya.
Tak tanggung-tanggung aku memberinya tanda love pada fotonya. Asal kalian tahu saja, aku adalah salah satu dari sekian banyak fans kakak tingkatku yang satu ini dan pastinya berharap menjadi bagian dari hidupnya. Hampir semua foto yang ter-posting di akunnya sudah aku beri tanda love.
Puas memperhatikan foto-fotonya yang tak pernah membuatku bosan meski melihatnya berkali-kali, aku beralih melihat insta story-nya. Belum sempat aku melihat insta story-nya, sebuah pesan masuk di grup kelasku. Segera kumembukanya, barangkali ada hal penting yang disampaikan oleh ketua tingkatku, hasil UPM misalnya.
Benar saja, ia menyampaikan hal yang amat penting tapi berhasil membuat hatiku luluh lantak, tak percaya, menganggapnya ini hanya mimpi. Ini bukan hasil UPM yang keluar dan membuat IPK-ku menurun, atau lebih parahnya ada mata kuliahku yang bermasalah akibat bolos. Bukan! Bukan itu! Ketahuilah, Teman. Aku bukan golongan mahasiswa yang malas, pergi kuliah semaunya. Meski otakku pas-pasan, tapi aku tak pernah membuat masalah dengan dosen, setiap tugas aku kerjakan dengan baik dan mengumpulnya tepat waktu. Walau mungkin, jawaban saat MID atau UPM-ku asal-asalan dan tidak masuk akal karena aku bukanlah tipe mahasiswa yang berbuat curang saat ujian, bekerja sama misalnya.
Lantas apa yang membuat hatiku sedemikian hancurnya?
Ialah saat aku memperhatikan video yang dikirim ketua tingkatku merupakan undangan pernikahan, dan bertuliskan nama Indra Gusti—kakak tingkat yang aku sukai selama ini beserta nama calonnya.
Sungguh ini sulit dipercaya, bagaimana bisa? Dengan cepat, aku kembali memeriksa akunnya dan langsung melihat insta story-nya untuk memperjelas kebenarannya. Aku sangat berharap, nama itu bukanlah namanya. Aku berharap nama itu milik orang lain, hanya saja namanya sama seperti namaku yang amat pasaran.
Namun, siapa sangkah? Ternyata kenyataannya mengiris-iris hatiku.
Ia akan menikah, tepat pada malam kedua belas Ramadan.
Tubuhku tiba-tiba melemah, deru napasku tak beraturan, semangatku seakan hilang begitu saja. Aku menggigit bibir bawahku bergetar, tak kuasa menerima kenyataan ini dan entah sejak kapan air mataku pun ikut berair.
Aku segera mengusap air mataku sebelum lolos membasahi pipiku. Berusaha menormalkan deru napasku meski terasa sesak.
Ya Tuhan!
Secepat inikah kau membuat tikaman dalam hatiku?
Baru saja aku senyam-senyum melihat fotonya, baru saja aku memimpikan bersanding dengan dirinya di masa depan, baru saja aku ....
Aaarrgghhhh!!!!
Ini sungguh menyiksaku.
Aku memejamkan mataku, butiran-butiran air yang tak kucegah kubiarkan mengalir membasahi pipiku. Aku memeluk kedua lututku, meringkuk tak berdaya. HP-ku entah sudah berada di mana, aku tak ingin melihat benda itu lagi, terlebih melihat undangan Kak Indra yang menambah lebam dan luka di hatiku.
"Kak Uni, Gea dapat tanda tangan Kak Nunii doms," seru Gea membuka pintu kamarku tak tanggung-tanggung.
"Narti udah ketemu sama penulisnya, gak nyangka deh. Ternyata bener apa yang Narti bilang kan, Kak, kalau di sini ada penulis yang mondok," tambah Narti masuk ke kamar.
Aku mendongak kepalaku melihat mereka meski air mataku belum berhenti mengalir, sontak mereka terkejut melihat diriku.
"Kak Uni kenapa?"
⸙⸙⸙
Radi's Pov
Usai salat Asar dan membaca Alquran, aku memutuskan menghabiskan waktuku di taman rumah sakit memperhatikan warga rumah sakit berlalu-lalang. Sejak siang tadi, Abi tak henti-hentinya kedatangan penjenguk entah dari keluarga atau rekan bisnisnya. Dari pada mengganggu, lebih baik aku mencari tempat menenangkan diri. Seperti saat ini, taman rumah sakit menjadi sasaranku setelah siang tadi memilih berdiam di musalah rumah sakit sembari membaca Alquran hingga Asar.
Aku duduk di bangku panjang bercat putih pinggir taman, kali ini aku sendirian tak seperti di musalah tadi bersama Kak Ayyas. Saat ini ia ada di kamar Abi juga, sebab yang datang menjenguk adalah calon besan Abi atau bisa dibilang calon mertua Kak Ayyas. Sambil memperhatikan pengunjung taman, sesekali aku tersenyum memikirkan Kak Ayyas. Gak nyangka aja, sebentar lagi ia akan menikah.
"Assalamualaikum," salam seseorang tengah duduk di sebelahku.
"Waalaikumussalam," jawabku mengarahkan pandangan kepadanya ternyata Kak Ayyas.
"Kok keluar, Kak?" tanyaku heran.
"Gerah, lagipula mereka kelihatannya asyik dalam pembicaraan," jelas Kak Ayyas.
"Oh, itu apa, Kak?" Saat kedua bola mataku menangkap sebuah map hijau di tangan Kak Ayyas.
"Biodata calon Kakak, tadi dititipin sama saudara ayahnya."
"Jadi yang datang tadi bukan camer, Kakak nih?" godaku.
"Ya, bukanlah."
"Padahal hati udah dag-dig-dug duluan kayaknya."
"Apaan kamu, Rad." Kak Ayyas menepuk wajahku dengan map dipegangnya.
Aku tertawa melihat raut wajah Kak Ayyas.
"Udah ya, gak usah goda, Kakak," ucap Kak Ayyas tampak membuka map yang membuat kepalaku ikut menjulur melihat isi map tersebut.
Benar yang dibilang Kak Ayyas bahwa map itu berisikan biodata sang calon kakak iparku beserta dengan visi-misinya.
"Kok gak ada fotonya sih?" protesku mendapati bahwa isi map itu hanya beberapa lembar kertas HVS dengan tulisan diketik rapi. Padahal aku berharapnya ada foto yang diselipkan juga, jujur aku penasaran dengan wajah calon kakak iparku. Apakah mirip dengan wajah Kak Ayyas? Konon katanya kalau wajah kita mirip bagai pinang dibela dua berarti jodoh. Hehehe.
"Enggak tahu," ujar Kak Ayyas mulai membaca lembaran pertama.
Aku pun ikut membaca yang mana berisikan biodata diri saja, mumpung Kak Ayyas tak menegurku. Membuatku mengerutkan dahi saat membaca namanya, seperti tidak asing bagiku.
Sri Wahyuni?
⸙⸙⸙
Uni's Pov
"Kakak yang tenang ya," Gea mengusap bahuku—menghiburku.
"Kakak harus yakin, Tuhan gak pernah salah dalam memberi skenario pada hamba-Nya," Narti ikut berbicara. Ia pun akhirnya tahu permasalahan sebenarnya yang awalnya cuma Gea yang tahu sebab telah kuceritakan kemarin sore di bawah pohon beringin.
"Ternyata sesakit ini ya berharap kepada manusia," lirihku.
"Kakak yang sabar ya," Gea memelukku.
Narti pun ikut-ikutan memelukku.
Kami pun saling berpelukan, membuatku semakin sesak.
Ah! Jujur saja, perasaanku amat hancur mengetahui kebenarannya.
⸙⸙⸙
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...