Uni's Pov
Usai pengajian tadi, aku tidak langsung pulang. Aku memilih jalan-jalan mengitari kompleks sembari menghirup udara segar, anak-anak yang lain entah berada di mana mungkin di salah satu sudut kompleks atau malah udah pulang beberes rumah, mandi dan melanjutkan bacaan Alqurannya.
Capek berkeliling, aku memutuskan duduk di salah satu bangku di bawah pohon beringin melihat santri yang lalu-lalang menarik koper. Sepertinya mereka ingin pulang kampung, itu berarti peserta yang ikut pesantren pun akan berkurang.
Meski program pesantren yang selalu dilaksanakan tiap Ramadan ini terbuka untuk umum, tetap saja yang mendominasi pesertanya kebanyakan dari santri pondok itu sendiri hanya hitungan jari yang dari luar pondok, salah duanya aku dan Kak Nunii.
Aku menghela napas kasar kemudian, kalau para santri pada pulang kampung otomatis suasana pesantren sepi dan bakal gak seru lagi. Apa lagi anak-anak yang tinggal di rumah Fung Anna rencananya pada pulang dalam waktu dekat-dekat ini, seperti Nina, Tari, Ana, dan lainnya.
Aku hanya berharap semoga Gea dan Narti belum balik, jujur aku masih membutuhkan mereka. Terlebih setelah aku pergi ke akad nikahannya Kak Indra beberapa hari yang lalu, sempurna membuat hatiku patah sepatah-patahnya yang sebelumnya berangsur utuh. Mereka berdualah yang mampu menghiburku saat ini, bukan berarti yang lainnya tidak bisa hanya saja cuma mereka yang tahu perihal aku dan Kak Indra.
Ngomongin Kak Indra, gak tahu kenapa bikin dadaku sesak aja. Aku tahu sudah tak seharusnya aku memikirkan dia, amat berdosa aku bila terbesit keinginanku untuk memilikinya. Dia bukan milikku, dan Tuhan telah menetapkan bahwa pemilik tulang rusukku bukanlah Kak Indra. Sudah seharusnya aku mengikhlaskannya bukan malah menangisinya.
Untuk itulah tiap usai salat, aku selalu berdoa semoga Tuhan menghapus semua rasa atas Kak Indra dan mempertemukanku dengan sosok yang dipilihkan Tuhan untukku. Sungguh berharap kepada manusia memang menyakitkan. Mulai saat ini aku bertekad menjadi lebih baik lagi, gak mau mikirin hal-hal yang ngebuat hatiku patah.
Hampir sejam aku di sana, hingga aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Selain sudah bosan, aku juga ingin mandi karena badanku terasa lengket semua.
Ah ya!
Hampir lupa, hari ini Etta bakal kemari. Baru saja kemarin ia meneleponku, katanya beliau akan berangkat sekitar pukul sembilan jadi kemungkinan besar Etta akan sampai sekitar pukul empat sore dan rencananya beliau akan bermalam semalam. Itu artinya aku harus bersiap-siap menyambut Etta dan membuktikan bahwa aku rajin ikut pesantren tak lupa juga memasakkan makanan yang lezat untuknya. Asal kalian tahu ya, dikit-dikit aku udah pintar memasak. Hehehehe.
⸙⸙⸙
Radi's Pov
"Rad, aku boleh minjam HP-mu gak? Aku mau nelepon Fung Anwar."
"Eh? HP-mu kenapa, Rey?"
"Tahu nih, dari tadi gak bisa nyala mungkin baterainya abis. Aku mau tahu keberadaan Fung Anwar, beliau udah sampai atau belum di kompleks."
"Nih!" aku menyodorkan HP-ku kepadanya sambil terus berjalan ke arah lapangan sepak bola usai Asar dan pengajian.
Siang tadi, saat ke rumah Fung Anwar aku sudah tak mendapati beliau. Kata Rehan, Fung Anwar pergi ke pondok menjenguk anaknya yang sudah dua pekan ini di kirim ke sana. Ngomong-ngomong soal mondok, aku jadi teringat dengan gadis yang kutemui dua pekan yang lalu di halte. Dia juga sama seperti anak Fung Anwar pergi ke pondok, meski ia bilang hanya berkunjung ke rumah saudari umminya tapi aku sangat yakin bahwa ia sebenarnya pergi belajar ilmu agama.
Selama Ramadan begini, ada beberapa pondok memang membuka program kegiatan pesantren untuk umum. Jadi siapa pun yang ingin belajar agama bisa mengikuti program tersebut dan tentunya gratis. Bukan hanya itu sih, ada juga program kampung bahasa Arab bagi yang ingin lancar berbahasa Arab. Aku tahu perihal begini sebab kakak laki-laki Abi—Fung Ishaq merupakan salah satu pengurus pondok pesantren. Aku sering berkunjung ke sana dan rencananya usai lebaran nanti aku akan bersilaturahmi sekaligus meminta izin untuk melakukan penelitian di pondok beliau.
Begitu sampai, aku memilih berdiri di pinggir lapangan sembari menyaksikan remaja SMA dan seumuranku bermain bola yang kelihatannya sangat seru sekali. Terbukti dengan seruan penonton yang heboh begitu bola mendekati gawang dan bersorak kecewa saat bola tersebut tidak jadi masuk ke gawang.
"Nih, Rad! Terima kasih ya," Rehan menyodorkan HP-ku saat aku sedang asyik-asyiknya menyaksikan pertandingan.
"Oh iya, Rey, sama-sama," ucapku meraih HP dan masukkannya ke saku celana.
Rehan sudah berdiri di sisi kananku, ikut menyaksikan pertandingan bola yang semakin seru. Sesekali aku mendengar sorakannya dan memanggil sebuah nama pemain yang entah kutahu itu siapa.
"Iya-iya, sedikit lagi."
"Ayo, Pandu! Cepat tendang!"
"Oh ya, Rey. Fung Anwar bagaimana?" tanyaku di sela-sela menyaksikan permainan yang makin seru.
"Alhamdulillah, beliau udah sampai pas Asar tadi, sekarang lagi berbincang-bincang dengan putrinya yang baru selesai ikut pesantren," jelas Rehan.
"Oh," aku mengangguk lantas kembali fokus ke pertandingan yang rupanya salah satu tim sudah membobolkan gawang lawan.
Sebagian penonton bersorak gembira, dan sebagian lainnya bersorak kecewa salah satunya ialah Rehan.
"Harusnya tadi itu ditendang langsung, bukan malah dioper," protes Rehan masih belum terima atas kekalahan tim yang didukungnya.
Aku menanggapinya dengan geleng-geleng kepala, toh cuma permainan sambil nunggu azan Magrib.
Tak lama kemudian pertandingan berakhir, skornya tetap tidak berubah yakni 1-0. Hanya satu dua orang saja tinggal di lapangan bermain-main di tengah lapangan sedang yang lainnya pada pulang ke rumah, mandi dan kembali ke masjid guna buka bersama. Sebuah rutinitas yang selalu dilaksanakan setiap Ramadan.
⸙⸙⸙
Uni's Pov
"Etta gak nyangka, dua pekan kamu tinggal sama bibimu udah banyak perubahan," ucap Etta bangga begitu aku meletakkan sambal udang buatanku di meja makan.
"Iya dong, jadi kalau Uni udah pulang Etta gak usah masak lagi, biar Uni yang masak," kataku menanggapi ucapan Etta.
Kulihat Etta tampak tersenyum mendengar ucapanku.
"Bukan cuma pintar memasak, tapi lancar mi juga bacaan Alqurannya, Deng," kali ini Fung Anna yang berbicara meletakkan sup di tengah meja makan.
"Alhamdulillah kalau begitu, Ndi."
"Etta, berapa lama ki bermalam kah? Serius ji cuma semalam?" tanyaku kemudian begitu duduk di samping ayah. Pekerjaanku di dapur memang sudah selesai.
Tampak kulihat Etta menghela napas sebelum menjawab pertanyaanku, "Iya, Nak."
"Ih kenapa cuma semalam ji?" protesku.
"Banyak mungkin na urus etta ta, Nak," sahut Fung Anna.
Aku mendengus mendengar jawaban Fung Anna.
"Ini juga Etta kemari karena ada hal penting yang ingin Etta sampaikan sama kita, Nak."
Aku mengerutkan dahi, maksudnya? Jadi maksudnya Etta kemari itu karena pengen bahas sesuatu yang penting sama aku? Bukan karena ia kangen sama anak kesayangannya gitu? Aduh, gak ngerti aku ini. pusing!
"Nanti sudah tarawih na kasih tahu ki etta ta, Nak," Fung Anna seakan tahu maksud dari raut wajahku.
Emang Etta mau bahas apa sih? Emang harus malam ini ya? Gak bisa ditunda-tunda dulu, seperti pas pulang ke rumah sebelum lebaran gitu. Belum selesai aku bertanya-tanya dalam hati, teriakan Fung Anna membuyarkan semuanya.
"Ana, panggil semua mi teman ta, Nak, mau mi buka orang," teriak Fung Anna.
"Iyye, Fung."
⸙⸙⸙
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...