Episode 7

378 45 4
                                    

Uni's Pov

Hari ini, usai membantu anak-anak beres-beres rumah. Aku memutuskan untuk duduk santai di ruang tamu, menemani Gea yang serius membaca buku sembari memainkan HP-ku. Aku mulai berselancar di media sosial, membuka semua aplikasi yang terdapat di HP-ku.

"Tumben gak baca buku, Kak?" tanya Gea sekilas melirikku.

"Hahaha. Nanti deh kalau siang, pagi ini biarkan saya main HP," kataku nyengir.

"Iya deh, Kak." Gea kembali tenggelam pada bacaannya, sedangkan aku sibuk mengotak-atik HP-ku kagak jelas.

Jam segini, suasana rumah Fung Anna agak sepi. Anak-anak pada sibuk di kamarnya masing-masing dengan bacaan Alqurannya, sedangkan Fung Anna entah kemana, kemungkinan beliau ke rumah tetangga seperti kemarin.

Hanya ada aku dan Gea yang masih nongkrong di ruang tamu, sehubung karena kami berbeda dengan yang lain alias sedang kedatangan tamu. Bosan juga aku duduk dan mengotak-atik HP yang isinya kagak jelas itu, aku memutuskan untuk keluar jalan-jalan.

"Kakak mau ke mana?" tanya Gea begitu melihatku bangkit dari sofa.

"Keluar."

"Ngapain?"

"Jalan-jalan, bosan di rumah terus."

"Oh."

"Mau ikut?" tawarku.

Sejenak kulihat Gea berpikir-pikir, kemudian mengiyakan.

"Eh, kamu keluar bawa buku?" tanyaku melihat tangannya belum lepas dari buku.

Ia nyengir, "Ntar kalau bosan di jalan kan bisa dibaca, Kak," alasannya.

Aku mengangguk, "Oke deh."

Kami pun keluar, berjalan bersisian sembari memutari kompleks. Udara sejuk kini berganti dengan hangatnya matahari pagi, sebab telah berada di sudut 60 derajat. Kami menyusuri jalanan tanpa arah, sesekali kami berpapasan dengan santri yang mondok di sini lalu mengucap salam kepadanya atau sebaliknya.

Kehidupan pondok memang berbeda dengan kehidupan di luar pondok. Aku masih ingat perkataan Kak Rehan beberapa tahun yang lalu. Dulu, Kak Rehan pernah mengecap kehidupan pondok pesantren selama tiga tahun. Karena setelah tamat SMP, Fung Syahid—adik Etta dengan tega mengirim Kak Rehan ke kompleks. Kak Rehan pasrah saja, sebab sekali Fung Syahid buat keputusan itu tak bisa diganggu gugat. Rutinitas yang terjadwal dan terperinci, membuat dia harus memaksa keluar dari zona nyamannya yang selalu malas-malasan dan mengulur-ulur waktu. Tapi lama-kelamaan, Kak Rehan merasakan perubahan yang pesat dari dirinya. Membuatnya sadar bahwa apa yang dilakukan Fung Syahid selama ini sebenarnya demi kebaikannya sendiri. Buktinya sekarang dia udah hafal Alquran terus pernah mengikuti program pertukaran pelajar. Hebat-hebat!

Kupikir Kak Rehan amatlah beruntung karena telah merasakan kehidupan di pondok pesantren, banding terbalik dengan diriku yang memang sejak memasuki rana pendidikan memang tak pernah berniat lanjut di pondok. Ya, meski Etta selalu ngotot mengirimku ke pondok tetap saja itu gak akan terjadi karena Ummi selalu membelaku dan memanjakanku (Hahahah. Dasar anak manja!). Jadilah selama lebih 15 tahun menempuh dunia pendidikan aku tak pernah menikmati yang namanya kehidupan pondok pesantren. Ini yang pertama bagiku, pun karena terpaksa ngikutin kemauan Etta sebab sudah tak ada yang membelaku dan Fung Anna ikut-ikutan menyiakan bilang tak masalah bila aku dikirim ke sana selama sebulan. Jadilah aku terdampar di sini, dan baru menyadari bahwa betapa bodohnya aku yang tidak pernah mengiyakan perintah Etta dulu.

Seperempat jam telah berlalu kami berjalan mengitari kompleks, kami memutuskan duduk di bawah pohon yang dekatnya tak jauh dari asrama santri yang terlihat sepi atau memang sepi ya? Secara kan bulan Ramadan otomatis banyak yang pulang kampung memilih untuk menghabiskan libur panjangnya di kampung halaman bersama keluarga, walaupun ada beberapa yang memilih tinggal beberapa minggu sebelum pulang merayakan hari lebaran. Termasuk aku.

"Kak Uni tahu gak? Di belakang itu asrama santri yang mondok di sini loh," ucap Gea sesaat kami duduk di sana.

Aku berbalik memperhatikan dengan seksama asrama yang dimaksud Gea, ada tiga asrama di sana berjajaran dengan rapi, hanya terpisah beberapa meter sebagai jalan untuk santri keluar masuk dan menjemur pakaian. Aku fokus pada asrama bagian tengah, di depannya ada plang tertulis "ASRAMA AL MUNAWWARAH".

"Sepi ya?"

"Iyalah, Kak. Kan Ramadan, kalau hari biasa mah ramai, pasar aja kalah."

"Hehehe. Oh iya, buku yang kamu pegang udah sampai mana bacanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Udah mau tamat, Kak."

"Wah, cepat juga ya kamu bacanya."

"Hahaha. Gak kok, Kak. Bukunya aja yang tipis."

Empat ratus halaman kok dibilang tipis? Dasar Gea!

"Gimana ceritanya? Bagus gak? Kemarinkan cuma sinopsisnya diceritain."

"Bagus banget, Kak. Tapi ending-nya masih teka-teki, Kak."

"Susah ditebak ya ceritanya?"

"Banget, tapi Gea suka sih."

Aku mengangguk menanggapi ucapan Gea.

"Kakak suka koleksi novel juga?" tanya Gea kemudian padaku.

"Iya dong, malah buat kamar perpustakaan."

"Eh, serius, Kak?" Gea terlihat antusias mendengar perkataanku.

"Iya, Kakak suka koleksi buku bukan cuma novel, buku pengembangan, teori, sampai sejarah pun juga ada tapi lebih dominan novel sama puisi sih."

"Waahh, jadi pengen deh ke rumah Kak Uni."

"Hahaha, boleh."

"Serius, Kak?"

Belum aku menanggapi ucapan Gea, seseorang mengucapkan salam kepada kami membuat perbincangan kami terhenti.

"Waalaikumussalam warahmatullah," jawab kami berdua seraya mengarahkan pandangan ke asal suara tersenyum.

Aku tersenyum melihat sosok perempuan muda yang beberapa tahun di atasku tengah berdiri di depan kami.

"Duduk-ki, Kak," ucap Gea pada perempuan itu sembari bergeser memberi tempat padanya.

"Iyye, Ndi. Terima kasih," katanya duduk di antara kami berdua.

"Kalau boleh tahu orang mana ki, Kak? Baru ki kuliat," tanya Gea.

"Orang Tosora, Ndi."

"Eh, sekampung ki tuh sama Kak Uni?" Gea menunjukku.

"Eh iya, Tosora bagian mana ki, Kak?" Kali ini aku yang bertanya begitu tahu bahwa perempuan yang duduk di sebelahku ternyata dari Tosora.

"Sekitar lapangan sepak bola, Ndi. Tapi pindah mi sekarang di Sengkang."

"Oh pantesan, saya di belakangnya Pasar Baru, Kak. Desa Tellulimpoe ji, tapi selalu ja bilang Tosora karena itu na tahu orang."

"Oh iya."

"Siapa pale nama-ta, Kak? Kalau saya Gea," tanya Gea kemudian.

"Sri Wahyuni, Ndi. Tapi bisa ji dipanggil Nunii."

"Oh, sama tuh nama ta, Kak Uni."

"Oh ya?"

"Iyye, Kak. Hehehe," cengirku.

Kak Nunii pun mengangguk seraya memperlihatkan senyum manisnya yang siapa pun akan melihatnya akan terpikat.

"Eh?" Seketika aku teringat sesuatu.

Aku mengambil buku yang dipegang Gea, "Kita yang tulis ini, Kak?" tanyaku memperlihatkan buku bacaan Gea. Kemarin aku sempat membaca biodata penulisnya dan di sana tertera nama panggilan Nunii.

Kakak itu pun mengangguk dan tersenyum. Saat itulah aku membenarkan perkataan Narti bahwa di sini ada seorang penulis yang sedang mondok, ia adalah Kak Sri Wahyuni—penulis buku Filosofi Penantian.

⸙⸙⸙

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang