Uni's Pov
"Assalamualaikum," aku memberi salam begitu masuk rumah.
"Waalaikumussalam," Etta dan Fung Anna sedang duduk di ruang tamu menjawab salamku.
Aku berjalan ke arah mereka dan mencium punggung tangannya secara bergantian.
"Uni, duduk sini sebentar, Nak!" perintah Fung Anna menepuk sofa sebelahnya. Tanpa banyak bicara, aku menuruti perintah beliau untuk duduk di sebelahnya. Perasaanku tidak nyaman, sepertinya mereka akan mengungkit perjodohan yang dibahas tadi malam.
"Etta dengar dari Fung Anna-mu, beberapa hari yang lalu pergi ki ke acara pernikahannya senior-ta, Nak?"
"Iyye, Etta."
"Semester tujuh dih?"
"Iyye."
"Kalau istrinya?"
"Semester lima."
"Teman ta?"
"Bukan, tapi dari kampus dekat sini ji, Etta."
Etta terlihat mangguk-mangguk mendengar jawabanku, sementara Fung Anna nampak diam. Tidak berniat mencampuri pembicaraan kami berdua.
"Berarti istrinya senior ta, seumuran jaki dih?"
"Iyye."
Etta kembali diam dan mangguk-mangguk, sebelum melontarkan pertanyaan yang aku cemaskan.
"Jadi bagaimana mi, Nak, yang tadi malam Etta bilang?"
Deg!
Pertanyaan Etta sempurna membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
"Insyaallah, pilihan sahabat Etta tidak salah."
Aku diam.
Aku melirik Fung Anna di sampingku memegang bahuku, ia mengangguk membenarkan ucapan Etta.
"Bagaimana, Nak?"
Aku masih diam.
Belum menemukan kalimat yang cocok untuk menjawab pertanyaan Etta.
"Kalau Uni setuju, bukan berarti kalian dipaksa buru-buru menikah. Semuanya akan diserahkan kepada kalian berdua, mau bagaimana nantinya," Fung Anna memperjelas.
"Benar yang dikatakan Fung Anna-mu, Nak."
Aku menggaruk pelipisku yang tidak gatal. Bingung.
Tadi malam memang aku udah salat istikharah sih, tapi masih ragu dengan keputusan yang aku pilih. Mungkin aku masih butuh dua atau tiga kali salat istikharah sebelum memantapkan keputusanku.
"Uni mau salat istikharah dulu, Etta, sebelum benar-benar memutuskan. Uni gak mau salah dalam mengambil keputusan," akhirnya kalimat yang susah payah aku rangkai di dalam otak keluar juga.
Kulirik Etta yang duduk di depanku.
Satu detik!
Dua detik!
Tiga detik!
Belum juga ada tanda-tanda Etta merespon ucapanku, beliau diam dengan raut wajah yang sulit diartikan. Entah ia berpikir, kecewa, atau apapun aku gak tahu sama sekali. Hal yang paling susah menurutku adalah membaca raut wajah seseorang, apalagi raut wajah Etta yang selalu misterius.
"Baiklah, Nak. Menurut Etta, memang itu adalah keputusan terbaik. Kamu salat istikharah saja dulu, minta petunjuk kepada Allah. Apapun keputusanmu, Etta akan terima dan mengatakannya langsung kepada sahabat Etta. Walau besar harapan Etta, kamu menerima perjodohan ini. Tapi semua tergantung dari keputusanmu, Nak, setelah salat istikharah," jelas Etta panjang kali lebar setelah beberapa waktu lalu berdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...