Episode 27

230 27 0
                                    

Uni's Pov

Aku mengusap peluh yang membanjiri wajahku dengan ujung jilbabku. Siang ini amat ganas, matahari yang egosi membuat gerah penduduk bumi tanpa memberi ruang kepada awan untuk menutupnya sebentar saja.

Usai mengusap peluh, aku kembali memainkan ponselku mengusir kebosanan. Membuka-tutup dari satu aplikasi ke aplikasi lainnya, atau menggeser-geser layar HP-ku tanpa gairah. Sudah sejam aku menunggu di sini, namun mobil rental yang Kak Rehan kirim belum datang-datang juga.

Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel ke jalanan yang padat akan kendaraan, melebihi padatnya ibu kota. Tak perlu menerka-nerka, sudah pasti karena mendekati lebaran. Jadi ada banyak orang yang pulang kampung untuk berhari raya dan ke pusat perbelanjaan demi membeli kebutuhan hari raya seperti baju baru, celana baru, rok baru, mukenah baru, pokoknya serba baru deh, atau kue-kue raya yang dijual bebas di pasaran dengan harga melonjak naik.

Kepalaku berputar 90° ke kiri, semeter dari tempatku duduk terdapat seorang lelaki yang berdiri dengan mulut komat-kamit kayak baca mantra. Dari gayanya aku dapat menebak bahwa dia adalah penghafal Alquran, dan mulutnya yang komat-kamit itu bukan karena baca mantra melainkan karena mengulang hafalannya. Melihatnya, aku jadi teringat dengan sosok yang pernah menyapaku tiga minggu lalu di halte ini juga. Di mana saat yang sama, aku juga menunggu mobil jemputan yang membawaku ke rumah Fung Anna untuk mengikuti pesantren. Bedanya sekarang, aku sedang menunggu jemputan pulang ke rumah.

Kabarnya sekarang gimana ya? Terus tempat bertugasnya di desa mana? Atau jangan-jangan malah bertugas di desaku? Aku tersenyum dengan pemikiranku yang terlampau jauh. Masa iya bertugas di desaku? Dari sekian banyaknya desa di kabupaten ini, kecil kemungkinan dia bertugas di desaku.

"Maaf, Kak, ada yang salah dengan diri saya?" tegur lelaki itu merasa tidak enak diperhatikan olehku.

Seketika aku tersentak kaget, "Eh? Enggak kok, Kak. Maaf," sesalku.

"Iya, Kak. Tidak apa-apa," ucapnya.

Aku tersenyum kikuk lantas mengalihkan pandanganku ke jalanan, malu rasanya ditegur seperti itu. Takutnya ia berpikiran yang aneh-aneh perihal diriku, padahal kan enggak. Aku cuma teringat sosok yang menegurku di halte saat melihatnya.

"Pulang kampung ya?"

Di luar dugaan, dia malah bertanya padaku.

Seketika aku beralih menatapnya kembali, kali ini ia sudah duduk di ujung halte.

"I-iya, Kak," jawabku.

"Oh." Kepalanya mengangguk.

"Kakak sendiri?" tanyaku.

"Sama, mau pulang kampung juga," jawabnya.

"Oh."

Pembicaraan kami terhenti sampai di situ, sebab aku tak bertanya lagi dan dia juga tak bertanya balik kepadaku perihal aku dari mana atau apalah.

Tak lama kemudian, sebuah mobil putih keluaran terbaru terparkir di depanku. Aku mengerutkan dahi, merasa asing dengan mobil tersebut karena jujur saja mobil yang sering menjemputku tidak seperti itu dan semahal itu.

"Maaf, Kak, jemputan saya sudah tiba. Saya permisi," ucapnya memakai ranselnya.

"Oh iya, Kak. Hati-hati!"

"Assalamualaikum," salamnya berjalan ke arah mobil tersebut.

"Waalaikumussalam."

Sebelum menutup jendela mobilnya, ia sempat tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumnya bersamaan mobil itu melaju meninggalkan halte.

Aku menghempuskan napas, ternyata mobil itu jemputan lelaki tadi kirain jemputanku.

Kembali aku meraih ponselku.

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang