Episode 31

255 29 0
                                    

Uni's Pov

Namanya waktu gak ada kata berentinya, meski kita malas-malasan, tunda-tunda pekerjaan, waktu akan terus berjalan tanpa berniat tungguin kita. Dia akan terus berotasi mengganti siang dan malam tanpa kompromi, meski kita sering protes karena waktunya gak cukup, tetap aja dia gak akan peduli. Toh salah kita sendiri, kenapa kita gak pernah gunain waktu sebaik mungkin dan malah gunain buat berleha-leha manja?

Sama dengan bulan Ramadan, bulan yang datangnya cuma sekali dalam setahun. Ada saatnya ia datang dan ada saatnya ia pulang. Sudahkah kita melewati Ramadan dengan sebaik-baiknya? Memperbanyak ibadah dan mengurangi kesalahan? Apakah ibadah kita saat bulan Ramadan meningkat atau justru sebaliknya—menurun? Apapun itu semoga selepas Ramadan, ibadah kita tidak berkurang sedikit pun dan kita bukanlah termasuk orang-orang yang merugi.

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allahu akbar walillaahil hamd.

Suara takbiran kian terdengar seluruh penjuru desa Tosora dan Tellulimpoe.

Aku sudah siap dengan baju gamisku, gamis merah muda bahan supercrepe dengan resleting depan, dan ujung tangannya dikancing amat pas di badanku. Terlebih saat aku memadukannya dengan jilbab segi empat satin silver polos. Tak lupa pula flat shoes cream ukuran 38 cm melekat di kakiku, membuatku nampak lebih baik dibanding hari-hari sebelumnya.

"Wah, tumben hari ini kelihatan cantik banget," puji Kak Rehan saat pertama ngeliat aku keluar dari rumah. Dia sendiri pakai baju seperti biasanya—baju kokoh bordir lengan ¾ hanya saja ia tak menggunakan celana, melainkan sarung yang senada dengan atasan kokoh Kak Rehan.

Aku mendengus menanggapi pujian Kak Rehan, menurutku pujian-pujian yang selalu Kak Rehan lontarkan padaku itu bukan pujian melainkan ejekan.

"Fung Anwar mana?"

"Masih di dalam," jawabku.

"Oh."

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allahu akbar walillaahil hamd.

Lagi suara takbiran itu bersahut-sahutan ke empat penjuru mata angin. Seakan memanggil, mengajak kita meraih kemenangan setelah sebulan penuh melawan hawa nafsu bukan hanya lapar dan dahaga melainkan nafsu lainnya yang membuat kita merugi.

Tak lama kemudian, Etta keluar dengan pakaian seperti biasanya. Kami pun langsung berangkat ke lapangan sepak bola—tempat diadakannya salat Id.

Aku sendiri berangkat dibonceng Kak Rehan, sementara Etta bersama tetangga sebelah yang seumuran dengannya—naik motor juga.

Begitu sampai, mataku langsung menangkap pemandangan yang begitu mengesankan. Ratusan jamaah berbaris rapi di lapangan lengkap dengan baju baru dan mukenah baru mereka. Aku segera turun dari motor bergegas mencari saf yang kosong, sementara Kak Rehan memarkirkan motor sambil menunggu Etta.

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allahu akbar walillaahil hamd.

Gema takbir itu semakin jelas terdengar.

Aku langsung memasang mukenah saat sampai di saf kosong samping Resti—teman semasa SMP-ku. Setelah itu duduk manis mendengar suara takbiran yang menggema.

"Swafoto, yuk!" ajak Resti, tangan kanannya yang memegang ponsel telah mengambang di udara.

"Yuk!" aku menganggguk setuju.

Aku pun mendekatkan diri kepada Resti menghadap layar ponselnya sambil tersenyum.

Ckrek!

Satu gambar telah berhasil diambil kameranya Resti.

"Satu kali lagi, ya?" ucapnya lagi.

"Boleh," aku mengiyakan ucapan Resti.

Aku kembali merapatkan diri, mengembangkan senyum, serta mengangkat tangan kiriku berbentuk V.

Ckrek!

Satu gambar kembali diambil.

"Jangan lupa kirimin di WA-ku ya?!" ucapku begitu melihat Resti menyimpan ponselnya di dalam tas.

"Oke!"

Aku kembali bergeser kembali ke tempat semula, mendengar suara takbir yang saling bergantian.

Tak lama kemudian, salat Id pun dilaksanakan. Rasanya damai, seluruh jamaah yang hadir di lapangan sepak bola ini seakan khusyuk mendengar lantunan ayat Alquran yang dibacakan imam salat Id.

Usai salat Id, sang khatib pun naik ke mimbar membacakan khutbah. Semua diam mendengar khutbah sang khatib, sunyi, sepi, hanya suara khatib yang terdengar. Bahkan menurut aku nih ya, tumbuh-tumbuhan, angin, dan seluruh jagad raya pun seakan ikut diam mendengar khutbah beliau.

Aku juga mendengarkan isi khutbah dengan seksama, bukan isi khutbahnya aja sih melainkan sosok yang berperan sebagai khatib itu. Kagum aja sih liatnya, disaat orang lain ngumpul bareng keluarganya, dia malah dengan senang hati menunaikan kewajiban dalam menyiarkan agama Islam.

Sosok itu sendiri ialah teman Kak Rehan yang hingga saat ini belum kuketahui namanya, dan yang paling parahnya lagi sejak aku mengiminya pesan kagum terhadap gaya dan isi ceramahnya, ia gak pernah berniat membalasnya sedikit pun. Kan sebel jadinya.

Itu beberapa hari yang lalu, sekarang mah enggak. Mungkin ada alasan kenapa teman Kak Rehan itu gak menanggapi pesan aku, jaga jarak mungkin? Atau ada hati yang ia jaga? Tapi masa iya? Kalau diliat dari tampangnya sih, dia bukan tipe orang-orang yang suka pacaran.

Begitu sang khatib telah turun dari mimbar, maka berakhir pulalah rangkaian salat Id. Seluruh jamaah yang hadir menunaikan salat Id berjamaah saling bersalam-salaman, memohon maaf bila ada salah, dan memaafkan orang yang bersalah. Ada banyak pemandangan yang kulihat, seperti seorang anak yang menangis meminta maaf kepada orang tuanya, beberapa orang berpelukan sambil sesegukan, dan masih banyak lagi.

Aku sendiri usai bersalam-salaman dengan Resti dan beberapa jamaah di dekatku langsung meninggalkan area tersebut, berjalan ke tempat parkir mencari Kak Rehan dan Etta.

Semesta sepertinya berpihak kepadaku dengan tak membiarkan aku menunggu kayak orang bego di parkiran. Saat aku sampai, sosok yang kucari-cari pun baru juga sampai. Aku langsung menghamburkan pelukan kepada Etta dan mencium punggung tangannya—memohon maaf kepada beliau sebab hingga saat ini aku masih belum berhasil menjadi putri yang baik untuknya. Tak lupa pula salaman dengan Kak Rehan, mohon maaf karena telah menjadi adik yag rusuh buat dia.

"Maafin Uni ya Kak," ucapku mencium punggung tangannya.

"Iya-iya, Kakak juga minta maaf sering jahilin kamu," Kak Rehan mengusap-usap jilbabku membuatnya berantakan.

"Aduh, Kak, jangan diusap nanti jilbab Uni miring," protesku.

Kak Rehan tertawa, "Iya-iya, udah enggak kok," katanya semakin membuat jilbabku berantakan.

"IIhhh, Kak Rehan."

"Udah-udah, kalian ini kenapa sih? Baru aja saling memaafkan, sekarang bikin ulah lagi," tegur Etta melihat tingkah kami yang kayaknya gak pernah akur.

Kami berdua hanya bisa nyengir menanggapi teguran Etta.

Aku melihat isi lapangan masih dipenuhi jamaah, padahal sudah banyak orang yang kembali ke rumahnya. Beberapa kendaraan yang terparkir di dekatku berdiri telah diambil sang pemilik dan beranjak pergi.

Usai acara maaf-maafan itu, kami pun berniat pulang. Aku sudah siap duduk di jok belakang Kak Rehan, sebelum Kak Rehan menyalakan mesin motornya, sosok yang dikenalinya berjalan ke arahnya. Sementara Etta sudah pulang duluan dengan tetangga yang bersamanya tadi.

"Radi?"

⸙⸙⸙

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang