Uni's Pov
Usai salat Tahajjud berjamaah, aku dan beberapa anak perempuan (sepertinya jadwal mereka membantu Fung Anna) yang tinggal di rumah Fung Anna menyusul ke dapur. Di sana sudah kulihat Fung Anna dengan cekatan mempersiapkan segalanya, mengeluarkan bahan makanan yang berada di dalam kulkas. Anak-anak segera mengambil perannya masing-masing, ada yang mencuci sayur, ada yang memotong bawang putih beserta teman-temannya, ada juga yang menggoreng ikan. Semua bekerja dengan telaten.
Aku? Ah! Aku bahkan tidak tahu mau kerja apa saking gak kebagian oleh remaja ini, alhasil aku hanya melihat-lihat mereka memasak. Sesekali aku bertanya pada Fung Anna perihal masakan apa yang dibuat, karena sejujurnya aku gak pernah memasak sih. Hehehe. Waktu Ummi masih hidup pun aku gak pernah bantu beliau masak, secara Ummi sangat memanjakan aku dan akunya acuh tak acuh dengan dunia memasak sih. Lebih sibuk pada kegiatan kampus dan luar kampus, jadinya sejak beliau tidak ada Etta kewalahan mengurus rumah. Bangun Subuh, salat, memasak, terus kerja. Aku hanya bisa bantu Etta nyapu rumah dan mencuci. Walau begitu tetap aja Etta capek banget. Menyaksikan semua ini, aku jadi teringat sama Etta menyesal gak mau belajar masak sama Ummi dan bantu Ummi masak.
"Uni, ada kerja gak? Bisa bantu bawa makanannya ke meja makan, sekalian bantu Fung nyiapin piring, sendok, dan gelas, ya?" Fung Anna yang mengangkat nasi dari ricecooker.
"Eh, iyye, Fung. Lagian Uni cuma liat-liat," kataku membawa makanan yang sudah siap ke atas meja makan.
Kembali mengambil piring, sendok, gelas yang ditata di atas meja panjang. Penghuni yang ada di rumah Fung Anna itu ada sekitar 15 orang, jadinya Fung Anna masaknya banyak. Dari 15 orang itu terdiri dari Fung Anna, aku, dan sisanya anak perempuan yang kira-kira tiga tahun dibawahku yang paling mendominasi (beberapa sudah pulang kampung kemarin sekitar 5 orang kayaknya). Mereka berasal dari berbagai daerah di luar kabupaten, mereka ke sini buat sekolah sekaligus mondok.
Sebenarnya menjelang Ramadan itu, anak santri biasanya sudah libur. Namun, anak-anak yang tinggal di rumah Fung Anna belum berniat pulang kampung. Katanya mau nemenin Fung Anna dulu sekitar dua atau tiga minggulah, secara Fung Anna tidak mempunyai anak lebih tepatnya belum menikah. Jadi, anak-anak di sini sudah dianggap seperti anak sendiri dan mereka pun sangat sayang dengan Fung Anna.
"Air minumnya di mana, Fung?" tanyaku selesai menata piring beserta kawannya di atas meja.
"Oh, di situ, Nak, di samping kulkas," Fung Anna menujuk letak air minum dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih sibuk mengaduk-aduk sup.
Aku segera ke arah yang ditunjukkan Fung Anna. Setelah mengambil air, aku menuangkannya ke dalam gelas satu per satu. Beberapa remaja yang tak memiliki jadwal memasak telah duduk menunggu teman-temannya yang lain.
Beberapa menit kemudian, Fung Anna dan tiga remaja perempuan lainnya menyusul. Fung Anna lalu meletakkan sup yang sejak dari tadi sudah ditunggu-tunggu.
Fung Anna duduk di ujung meja memimpin kami, sedangkan aku duduk di sebelah kanan meja tepat di samping Fung Anna.
Akhirnya, kami menikmati sahur pertama di bulan Ramadan.
"Nawaitu shauma ghodin an'adaai fardhi syahri romadhoona haadzihis sanati lillahi ta'ala. Artinya, "Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan ramadan tahun ini karena Allah Ta'ala."
⸙⸙⸙
"Gak usah beresin, Nak, biar anak-anak aja," cegah Fung Anna begitu aku memungut piring-piring yang kotor.
"Eh?" tanganku terhenti meraih piring-piring kotor.
"Iya, Kak. Biar kami saja, sehubung hari ini jadwal aku dan Ana yang cuci piring," remaja yang kalau gak salah namanya Tari itu mengambil alih peranku.
"Ah, baiklah kalau begitu." Aku segera bergeser memberi ruang untuk Tari berjalan, menyusul Fung Anna yang keluar menuju ruang tamu, duduk di samping beliau memperhatikan anak-anak yang sibuk mengaji.
4.32 a.m. WITA.
Suara salawat terdengar dari masjid, Fung Anna beranjak dari tempat duduknya berniat mandi. Aku pun melakukan hal yang sama, kembali ke kamar. Anak-anak yang lain juga sudah bubar dari ruang tamu, menghentikan aktivitas mengajinya. Siap untuk menunaikan panggilan-Nya. Subuh, awal menjemput keberkahan.
⸙⸙⸙
Radi's Pov
Habis salat Subuh, aku iseng-iseng ikut dengan sekumpulan remaja masjid yang sedang melakukan aktivitas JJS alias Jalan-jalan Subuh. Salah satu dari mereka tadi sempat mengajakku, dan tanpa berpikir panjangsegera mengiayakan. Dari pada gak ada kerjaan, mending JJS. Lagi pula, usai salat Subuh juga kita tidak dianjurkan untuk tidur lagi.
Menurut pandangan ulama, tidur setelah waktu Subuh itu hukumnya makruh dan tidak diperkenankan apabila tidak ada udzur dan keperluan. Mengapa? Karena waktu sesudah Subuh itu adalah waktu turunnya berkah dan rejeki, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Sesuai salat fajar (Subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kau untuk mencari rezeki." (HR. Thabrani)
Ibnul Qayyim rahimahulla bahkan mengatakan bahwa tidur di waktu pagi menjadi salah satu perbuatan yang menghambat datangkan rezeki dari Allah, tak hanya itu tidur di waktu pagi juga dapat mengganggu kesehatan manusia. Karena tidur di waktu pagi dapat membuat tubuh menjadi lemas dan tak bersemangat sehingga menyebabkan berbagai macam penyakit.
Secara medis, tidur di pagi hari setelah waktu Subuh kurang menyehatkan. Hal tersebut tergolong sebagai pola hidup yang tidak sehat dan mengganggu metabolisme tubuh.
Waktu sesudah Subuh adalah waktu yang baik bagi tubuh untuk melakukan metabolisme dan pemanasan sehingga jika tidur lagi maka akan seperti kendaraan yang tidak melakukan pemanasan. Efeknya, saat bangun pukul 7 atau pukul 8 pagi tubuh akan terasa lemas dan kurang bersemangat.
Aku menghirup dalam-dalam udara Subuh ini, selain sejuk udara di waktu seperti ini masih bersih dan bebas polutan yang mana dapat menurunkan tekanan darah sekitar 10 sampai 20 mg Hg begitu kata penulis buku Solusi Sehat Islami yang sempat kubaca.
"Kalau boleh tahu, nama Kakak siapa? Kalau aku Yunus, Kak," tanya remaja yang mengajakku tadi JJS di masjid.
"Muhammad Raditya Hafizi, tapi Adik bisa manggil Radi."
"Btw, suasana mondok itu gimana, Kak? Seru, gak?" tanyanya lagi.
"Seru. Tiap selesai salat Margrib sama Subuh itu dilakukan pengajian, setoran hafalan tiap selesai Isya sama sebelum Subuh. Salat tahajjud tiap pukul 3, salat duha tiap pukul 9. Gak hanya itu, kita juga diajarkan tata beternak, bertani, cara mencintai alam yang sesungguhnya," jelasku panjang kali lebar.
"Wow. Jadi Kak Radi gak kuliah?"
"Kuliah. Kakak kuliah sambil mondok."
"Jurusan apa, Kak?"
"Tafsir Alquran."
"Pantas hafal Alquran, ternyata ngambil jurusan Tafsir Alquran." Yunur menyeringai.
Aku tertawa pelan. "Cita-cita Kakak mau jadi penghafal Alquran, Dik, jadi selaras dengan jurusan yang Kakak ambil."
Yunus pun ber-o pertanda mengerti, "Lulus SMA nanti, Yunus ada niat mondok juga, Kak. Semoga bisa seperti Kakak," tulusnya.
"Wah, bagus tuh. Kakak harap semoga keinginan kamu tercapai ya."
"Amin. Terima kasih, Kak."
⸙⸙⸙
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...