Usai salat Asar, aku duduk di teras rumah memperhatikan anak-anak kompleks lalu-lalang di sekitar masjid. Beberapa terlihat membawa kitab, beberapa lainnya membawa kantong plastik. Sepertinya usai salat tadi, mereka langsung bergegas ke mini mart membeli keperluan sehari-hari yang letaknya di samping kompleks.
Bosan memperhatikan anak-anak, aku mengecek HP. Berselancar di media sosial sepertinya menjadi pilihan terbaik, dengan sigap membuka semua aplikasi media sosialku. Mulai dari yang berwarna hijau, biru, biru muda, hingga warna merah muda keungu-unguan itu yang sering anak milenial gunakan untuk meng-upload fotonya. Sesekali aku tertawa melihat berbagai video yang di-upload oleh teman medsosku membuatku lupa waktu.
"Kau tak ingin ikut, Nak?" Fung Anna entah sejak kapan sudah berada di dekatku dengan pakaian serba rapi membuatku kaget saja.
"Eh, mau-ki kemana, Fung?" tanyaku menghentikan aktivitas.
"Biasa, mau ke pasar sore buat persiapan sahur nanti," jelas beliau.
"Iyye, mau-ka ikut, Fung," antusiasku bangkit dari kursi.
"Ya sudah. Ayo!" ajak Fung Anna sudah berjalan cepat keluar rumah membuatku kewalahan saja mengimbangi langkah beliau.
"Sudah-mi kita kabari etta-ta, Nak?" Fung Anna membuka topik disela-sela perjalanan.
"Iyye, Fung. Tadi malam sudah-mi ku-SMS bilang sampai-ma," aku ngos-ngosan menjawab.
Fung Anna ber-o mendengar. "Eh, kenapa begitu suaramu? Cape-ki?" Fung Anna balik melihat aku ngos-ngosan.
Aku nyengir, Fung Anna menggelengkan kepalanya. "Padahal masih jauh perjalanan."
"Hamma, kenapa nda bilang-ki tadi, Fung?" protesku tak terima. Jujur saja, andai kutahu kalau pasar sore yang dimaksud Fung Anna itu jauh mungkin aku akan berpikir dua kali untuk ikut dengan beliau. Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, dan bubur enak dimakan dicampur gula merah (Eh apasih, aku ngomong apa ya). Mau tak mau aku harus ikut dengan Fung Anna.
Fung Anna tersenyum lantas mempercepat langkahnya, aku kembali kewalahan mengimbangi langkah beliau. Badanku membungkuk begitu Fung Anna berhenti di tepi jalan, mengambil napas sejenak sebelum Fung Anna melanjutkan perjalanannya. Diluar dugaan, Fung Anna menyetop sebuah bemor. Aku terbengong. Fung Anna naik ke dalam bemor dan duduk manis di sana.
"Kenapa, Nak? Gak mau? Atau mau jalan kaki sampai ke pasar sore?"
"Ehh, tidak, Fung."
"Ya sudah, ayo naik!" ajaknya.
Cepat-cepat aku naik, duduk di samping Fung Anna. Sekali lagi aku mengatur napasku.
"Kalau kita gak naik bemor, bisa-bisa sebelum sampai pasar kamu udah pingsan duluan," canda Fung Anna.
Aku memaksakan diri untuk tertawa.
⸙⸙⸙
"Dulu pas almarhum Ummi masih ada, kalian sahur apa?" Sambil melihat-lihat jualan para pedagang, Fung Anna membuka topik.
Eh? Aku bingung. Tumben sekali Fung Anna bertanya menu sahur pertama kami.
"Pasti setiap sahur pertama, Ummi memasak makanan yang enak. Ya, kan?" Fung Anna sok tahu.
"Iy-ye, Fung," aku menjawab ragu. Aneh saja jika beliau menanyakan hal itu, karena kepergian Ummi beberapa bulan lalu masih menyisakan luka di dalam hatiku.
"Lalu?"
"Emm, Ummi biasanya masak kesukaan Uni, Fung."
Beliau sudah tak menanggapi lagi. Sibuk mencari bahan masakan untuk sahur pertama nanti. Di belakangnya aku dengan senang hati mengikuti ke mana arah langkah beliau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...