Episode 24

230 25 0
                                    

Uni's Pov

"Kamu baik-baik di sini, rajin ikut pesantrennya sama bantuin Fung Anna, jangan malah nyusahin beliau," pesan Etta kepadaku.

"Iyye, Etta. Etta kan udah liat aktivitas Uni kemarin sampai sekarang."

Etta tertawa, "Iya, Etta liat. Etta bangga dengan perubahan yang terjadi pada dirimu, Nak."

Aku senyum-senyum mendengar Etta mengucapkan bahwa ia bangga padaku, seumur-umur ini pertama kali Etta berucap seperti itu.

"Ya sudah, Etta pulang dulu." Etta mengusap-usap puncap kepalaku, membuat jilbab yang kukenakan menjadi miring.

"Iyye, Etta." Aku mencium punggung tangan beliau.

"Assalamualaikum," ucap Etta sembari masuk ke mobil yang membawanya pulang ke rumah.

"Waalaikumussalam," jawabku melambaikan tangan begitu mobil yang ditumpangi Etta telah melaju meninggalkan depan pondok pesantren.

⸙⸙⸙

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur, capek juga padahal cuma nganterin Etta ke depan doang. Sambil memulihkan tenaga, aku membuka aplikasi chatiing-an. Iseng-iseng membaca pesan-pesan yang terkirim di sana, takutnya ada info yang terlewat. Ternyata benar, kepala devisiku baru saja mengirim agenda kegiatan yang akan kami lakukan di bulan Ramadan ini.

Aku membaca seksama agenda tersebut, di mana pada pesan yang dikirim kepala devisiku yakni agendanya bagi-bagi takjil sesuai kesepakatan rapat beberapa hari lalu. Waktu kegiatannya akan dilakukan pada hari ke-24 Ramadan, itu artinya delapan hari dari sekarang. Sehubung karena ini adalah program kerja dari devisiku, jadi aku harus pulang sebelum hari-H.

Kupikir tidak masalah pulang lebih awal, kebetulan program pesantren ini dilakukan selama tiga minggu, soalnya seminggunya lagi biasa digunakan untuk pulang kampung bagi mereka yang berasal dari luar daerah—sepertiku. Etta pun juga tahu, hanya saja Ettta menyarankan kalau mau pulang sehari atau dua hari sebelum lebaran. Tapi karena himpunanku mengadakan agenda bagi-bagi takjil dan itu adalah program dari devisiku, maka aku harus pulang lebih awal dari sebelumnya.

Aku beralih membaca pesan-pesan yang lain usai membagikan brosur perihal kegiatan himpunanku. Sedang asyik men-scroll layar ke atas, tak sengaja mataku tertuju pada pesan Kak Rehan. Kalau dilihat sih, kayaknya dia lagi ngirim foto.

Begitu pesannya kebuka, aku langsung mengunduh foto yang ia kirim. Mataku berbinar melihatnya, sebuah foto matahari terbit yang diambil dari jembatan. Ya, aku suka banget ngeliat matahari terbit. Ngerasa punya harapan dan semangat gitu.

Aku selalu percaya bahwa fajar selalu memberikan harapan setelah semuanya luruh direbut malam. Seketika inspirasiku untuk menulis puisi datang tiba-tiba, aku langsung bangkit dan mengambil buku harian yang selalu kubawa kemana-mana.

Perlu kalian tahu, aku sebenarnya suka nulis puisi sih. Tapi nulis di buku harian doang, gak suka ngepublis. Aku merasa gak PD aja sih ngebiarin hasil tulisanku dibaca orang, aku masih perlu banyak belajar soalnya. So, untuk sekarang biarlah menjadi konsumsi pribadi. Bila waktunya tiba, tulisanku juga bakal jadi konsumsi publik kok. Aamiin.

Tapi sebelum nulis puisi, aku sempat ngirimin pesan ke Kak Rehan sebagai ucapan terima kasih karena telah mengirim foto matahari terbit yang super wow dan juga nanyain kenapa tiba-tiba ganti nomor dan gak nge-save kontakku. Kan jadi susah ngeliat story-nya.

Ya, aku tahulah Kak Rehan gak nge-save kontakku. Kentara banget dari dia yang gak masang foto profil. Biasanya Kak Rehan tuh selalu masang foto, lah ini gak sama sekali. Isi pesannya pun juga beda dari biasanya, pakai bahasa santun lagi, padahal biasanya juga blak-blakan sering pakai emot gak jelas. Terus kalau aku curhat, ngejeknya yang utama, ngasih sarannya belakangan. Ini, kok jadi aneh ya.

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang