Uni's Pov
Aku masih sibuk memilah-milah jilbabku, memilih warna senada dengan almamater yang kukenakan begitu mendengar seseorang mengucap salam dari luar.
Aku terhenti mendengar salam tersebut, kemudian membalasnya, "Waalaikumussalam."
Lalu mencopot salah satu jilbab yang kupikir sudah senada dengan almamaterku, "Sebentar!" teriakku sekali lagi sembari mengenakan jilbabku tanpa peduli apakah miring atau tidak. Takutnya orang yang mengucapkan salam itu menunggu kelamaan.
Usai mengenakan jilbab, aku bergegas keluar membuka pintu. Tadi sengaja pintu kututup karena Etta dan Kak Rehan sedang keluar, takutnya malah ada orang yang tak dikenal naik ke rumah dan berbuat yang tidak-tidak.
Sebelum membuka pintu, aku menarik napas dalam-dalam dulu menetralkan pompa jantungku. Terus menyusun kalimat bila ia menanyakan salah satu dari kedua lelaki tersebut. Sudah kubilang sebelumnya bahwa mereka sedang keluar. Etta sedang pergi ke pasar membeli keperluan memasak, awalnya aku yang berencana pergi sih namun harus batal setelah mendapat info bahwa rapat pemantapan untuk agenda bagi-bagi takjil dimajukan menjadi pukul 11.30 yang awalnya pukul 2. Alasan mengapa aku memakai almamater hari ini juga sih. Sementara Kak Rehan lagi balik ke rumahnya sebentar. Iya, sebentar katanya namun sudah sejam lebih dia belum balik-balik juga.
"Iyye, cari siapa-ki?" tanyaku akhirnya membuka pintu dan tak lupa tersenyum ramah.
Deg!
Jantungku seakan mau lompat dan keluar dari tempatnya melihat sosok yang berdiri tepat di depanku adalah sosok yang tidak asing bagiku. Sosok yang baru saja kemarin terbesit di pikiranku.
Di-dia kan lelaki yang menyapaku di halte tiga minggu yang lalu? Kenapa dia ada di sini? Lantas untuk apa dia kemari? Jangan-jangan dia jadi mubalig di desaku? Beneran? Ini serius kan? Jadi, dugaanku kemarin gak salah dong?
"Emm, Rehan-nya ada?" tanyanya padaku.
"Oh, Kak Rehan? E, kembali tadi ke rumahnya, Kak."
"Oh iyye pale, masih lama kah?"
"Nda tahu mi juga."
Lelaki itu pun terdiam.
"Eh, duduk ki, Kak. Kita tunggu mi saja, paling sebentar lagi datang," ucapku mempersilakan dia duduk di salah satu kursi beranda rumah.
Aku gak mungkin menyuruh dia masukkan? Secara kami bukan muhrim, masa iya berduaan di dalam rumah? Dari pada menyuruhnya pergi, lebih baik menyuruhnya duduk di beranda rumah menunggu Kak Rehan. Itu salah satu pilihan yang memungkinkan.
Sebelum ia menanggapi ucapanku, terdengar Kak Rehan memberi salam seraya menaiki tangga.
"Waalaikumussalam," jawabku dan dia bersamaan.
"Eh, Rad, udah datang rupanya."
"Iya, Rey."
"Eh, Uni, udah mau berangkat juga?" tanya Kak Rehan kepadaku.
"Iya, Kak, apalagi mau mi pukul 11."
Kak Rehan mengangguk.
"Ayo, Rad, kita berangkat!" Kak Rehan mengajak temannya pergi entah ke mana, sebab Kak Rehan tak pernah memberitahukanku sebelumnya.
"Sebentar, Rey!"
"Kenapa, Rad?"
"Aku mau mengembalikan ini." Lelaki itu menyodorkan buku kepada Kak Rehan, buku yang sangat familiar menurutku.
"Oh iya." Kak Rehan menerima buku tersebut, lantas menyerahkan kepadaku, "Ini bukunya!"
Aku menerima buku tersebut tanpa merasa heran, Kak Rehan sudah menceritakannya saat aku masih berada di pesantren.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...