Episode 5

464 52 9
                                    

Radi's Pov

Am taquuluuna inna ibroohiima wa ismaa'iila wa is-haaqo wa ya'quuba wal-asbaatho kaanuu huudan au nashooroo, qul a antum a'alamu amillaah, wa man azhlamu mim mang katama syahaadatan 'indahuu minalloh, wa mallohu bighoofilin 'ammaa ta'maluun.

Tilka ummatung qod kholat, lahaa maa kasabat wa lakum maa kasabtum, wa laa tus'aluuna 'ammaa kaanuu ya'maluun.

Shadaqallahul adzim.

Aku mengakhiri bacaan Alquranku, insyaaallah akan kulanjutkan nanti pada ayat ke-143 surah Al-Baqarah. Surah yang paling panjang dengan 286 ayat. Surah yang pertama kali diturunkan di Madinah. Ada banyak keistimewaan dalam surah Al-Baqarah ini, namun hanya satu yang masih lekat dalam ingatanku yaitu orang yang menghafal surah Al-Baqarah dianggap pantas menjadi pemimpin.

Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah, kulihat sudah tak ada orang. Sangking asyiknya aku tenggelam dalam bacaan Alquran, hingga tak sadar bahwa kini tinggal aku saja yang berdiam diri di dalam masjid.

Aku meninggalkan tempat dudukku di sayap kanan masjid yang sedari tadi usai salat berdiam di sana, melangkah keluar masjid. Saat keluar, ekor mataku melihat beberapa remaja sedang berfoto ria dengan latar depan masjid. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala melihat tingkah mereka.

Harus kuakui, masjid Ummul Huda ini amatlah indah. Tidak jauh beda dengan masjid-masjid yang ada di kota, sangat megah dan arsitektur yang unik untuk seukuran desa ini. Perlu kalian tahu bahwa masjid Ummul Huda adalah masjid terbesar di kawasan Desa Tellulimpoe dan Desa Tosora, aku baru menyadarinya setelah memperhatikannya lekat-lekat. Apalagi mengingat jamaah yang hadir kemarin malam—amat banyak sampai-sampai terpaksa mengambil shaf di sayap kanan dan kiri masjid. Wajar saja, sebab masjid ini memang berada di tengah-tengah dan sepertinya menjadi ikon untuk kedua desa ini. Jadi, bila kalian singgah menunaikan salat di masjid ini amat disayangkan bila kalian tidak memutuskan untuk berswafoto di depan masjid Ummul Huda.

Aku mempercepat langkahku begitu keluar dari halaman masjid yang begitu luas, berniat menghirup udara sore sembari menunggu magrib tiba yang kata anak milenial nih ngabuburit.

Ya, ngabuburit. Entah sejak kapan istilah itu menjadi nge-trend, namun sejak munculnya istilah itu semua orang berlomba-lomba menggunakannya baik dalam percakapan sehari-hari maupun di dunia maya. Kata ngabuburit sendiri berasal dari bahasa Sunda yang artinya bersantai-santai sambil menunggu waktu sore atau matahari terbenam. Uniknya kata ini hanya popular digunakan pada waktu bulan Ramadan yakni kegiatan menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa.

Ada banyak kegiatan ngabuburit diantaranya, jalan-jalan, mencari takjil, mendatangi pasar kuliner Ramadan, bermain, bersenda gurau dengan teman, dan sebagainya. Kegiatan ngabuburit juga dapat berupa kegiatan keagamaan seperti pengajian atau mendengarkan ceramah. Sehubung karena masjid telah sepi sejak usai Asar tadi, maka saya memilih poin pertama yakni jalan-jalan terlebih masih banyak hal yang belum saya ketahui mengenai desa ini.

⸙⸙⸙

Uni's Pov

"Diiris bagaimana ini, Fung?" tanyaku pada Fung Anna. Di depanku sudah ada wadah segi empat yang berisi agar-agar, tangan kananku telah menggenggam pisau kecil. Karena tak tahu harus mengirisnya bagaimana dan ukurannya seperti apa, maka pisau itu hanya terangkat di udara sembari kugoyang-goyangkan. Tak sabar untuk mengiris agar-agar di depanku yang beraneka warna, ada warna merah, hijau, coklat, dan warna putih.

"Iris kecil-kecil saja, Nak, bentuk dadu," jawab Fung Anna sembari memindahkan panci dari atas kompor ke meja makan.

Begitu mendapat tanggapan dari Fung Anna, aku segera mengeksekusi agar-agar yang berada di depanku tanpa mempedulikan anak-anak yang sedang membantu Fung Anna lalu-lalang di sekitarku. Mereka semua pada sibuk dengan pekerjaan masing-masing, seperti diriku yang sibuk mengiris-iris agar-agar berbentuk dadu.

Sekitar pukul setengah lima, pulang dari pesantren. Aku sudah mendapati Fung Anna sibuk di dapur mempersiapkan menu buka puasa, usai ganti pakaian aku langsung membantu Fung Anna dengan beberapa anak-anak yang mendapat jadwal memasak. Kali ini, aku gak mau memperhatikan mereka bekerja, aku ingin ikut terjun langsung dalam mempersiapkan menu buka hari ini.

Ya, meski hanya mengiris agar-agar dan menata piring di atas meja. Tapi itu lebih baik dari pada tidak sama sekali, bukan? Walau pun beberapa kali Fung Anna melarangku, namun aku tetap ngotot, cepat atau lambat suatu hari nanti aku akan merasakan dunia dapur. Dunia yang selama ini aku hindari. Jadi, sebelum hal itu terjadi, maka alangkah baiknya aku pemanasan dulu. Membantu Fung Anna saat ini misalnya, biar nantinya gak cedera dan malu-maluin. Hehehe.

Usai mengiris agar-agar, aku memasukkannya pada wadah yang lumayan besar. Di wadah itu sudah ada berbagai irisan buah, usai memasukkannya aku mencampurnya dengan sirup dan susu. Aku mengaduk-aduknya hingga rata, kemudian memasukkannya ke dalam gelas-gelas kecil yang sudah berjejer rapi di dekatku. Hari ini, menu buka puasa kami adalah es buah.

Selesai memasukkan ke dalam gelas kecil, aku membawa gelas-gelas tersebut ke meja makan menatanya sedemikian rupa berdekatan dengan gelas yang berisi air putih. Beberapa menu sudah terhidang di sana, seperti sayur bening, ikan bakar sambal terasi, dan nasi yang mengepul. Tinggal tempe yang menunggu, sebab digoreng belakangan. Melihatnya berjajaran di atas meja membuatku tak sabar untuk menyantapnya.

Suara radio yang diputar di masjid telah terdengar, sayup-sayup kudengar suara ucapan-ucapan selamat berbuka dari berbagai lembaga pemerintahan. Itu berarti sebentar lagi akan berbuka puasa. Aduh, tak sabarlah aku menunggu waktu berbuka ini.

"Aduh, Kak Uni, jangan liatin makanannya kayak gitu, ntar puasanya makruh," tegur Ana melihatku berkali-kali menelan ludah.

"Iya, Kak, lagi pula makannya gak bakalan kemana-mana kok," Narti menambahkan.

Aku menanggapinya dengan cengiran.

"Kak Uni mau kemana?" tanya Tari melihatku beranjak dari tempat duduk.

"Mau ke WC bentar, Dik," jawabku meninggalkan anak-anak yang duduk rapi menunggu azan magrib, tiba-tiba saja aku kebelet. Mereka semua pun langsung mengangguk paham.

Sesaat kemudian aku kembali dari WC, dan sebelum pembacaan doa buka puasa lengkap dengan artinya, sebelum bedug diketuk, aku sudah menyambar air putih dan meminumnya.

"Eh, Kak. Belum pi azan," tegur Narti.

"Iyye, Kak, baru mau pembacaan doa." Susul Ana.

Anak-anak lain juga melihatku dengan raut keheranan, berbuka belum pada waktunya. Aku diam melihat mereka. Tiba-tiba, Fung Anna datang membawa tempe goreng dan diletakkan di tengah meja makan.

"Kenapa sudah minum, Uni? Na baru mau azan," tanya Fung Anna juga heran.

Dengan wajah yang cemberut, aku menjawab, "Halangan ka, Fung. Barusan datang tamuku."

Seketika tawa memenuhi ruang makan, tak terkecuali Gea yang ikut menikmati buka puasa. Mungkin dia teringat perihal tadi pagi yang kini korbannya adalah aku.

Huft! Dasar!

⸙⸙⸙

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang