Uni's Pov
Pagi ini tepat pukul sembilan.
Aku sudah lengkap dengan setelan gamis safina berwarna dustyblue navy senada dengan bergo antem yang berbahan sama. Tak lupa pula slingbag motif rantai warna hitamku untuk menyimpan ponsel dan dompet bertengger di bahu kananku.
Begitu keluar, kudapati Etta duduk di salah satu kursi beranda rumah. Beliau juga sudah siap dengan pakaian seperti biasanya.
Aku memutuskan untuk duduk di samping Etta menunggu Kak Rehan yang sejak tadi belum datang-datang juga.
Tak lama kemudian, Kak Rehan tiba membawa sebuah mobil. Kami pun berjalan menuruni tangga setelah Etta mengunci pintu rumah.
Begitu masuk mobil, aku langsung duduk di bagian belakang sedangkan Etta duduk di bagian depan bersama Kak Rehan yang mengemudi mobil.
"Sudah siap?" Kak Rehan menoleh ke belakang melihatku.
"Siap, Kak," ucapku malas.
"Oke, kita berangkat!" Kak Rehan menyalakan mesin mobil.
Subhaanalladzi sahkhara lanaa hadza wamaa kunnaa lahuu muqriniin wainnaa ilaa rabbina lamunaqlibuun. Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari kiamat).
⸙⸙⸙
Radi's Pov
Aku melirik arloji melekat di pergelangan kiriku.
Sejam telah berlalu, namun belum ada tanda-tanda bahwa kami akan sampai di tempat tujuan.
Aku memalingkan kepalaku ke kiri, menurunkan kaca jendela dan melihat hamparan padi menguning yang siap panen. Beberapa orang tampak kulihat sedang memanen padi dengan cara tradisonal yakni menggunakan sabit lantara kebanjiran. Sepertinya daerah sini sering dilanda hujan, terbukti daun-daun yang basah, adanya genangan air, dan tanah becek mengirimkan bau semerbak yang khas kepada saraf-saraf indra penciuman—bekas hujan semalaman. Angin sepoi-sepoi tak mau kalah meniupkan diri membuat anak rambutku sedikit berantakan.
"Bagaimana Rad, kau sudah menemukan calon di tempatmu tugas?" ucapan Abi memecah keheningan di antara kami.
Sejak berangkat tadi, kami tidak terlalu banyak bicara. Hanya suara dari tape mobil yang diputar Kak Ayyas menemani perjalanan kami.
"Sepertinya belum, Abi," jawabku menoleh ke belakang melihat Abi dan Ummi. Mereka memang duduk di belakang, sedangkan aku di depan samping Kak Ayyas yang menyetir mobil.
"Kok sepertinya? Emang di sana tidak ada anak gadis?"
"Ada kok, Abi."
"Lantas kenapa tidak ada satu pun yang menarik perhatianmu?"
Aku terdiam, bukan tak bisa menjawab pertanyaan Abi. Hanya saja, apa aku pantas menceritakan bahwa sosok yang memikatku tellah dijodohkan dengan orang lain? Gak etis banget kan?
"Aduh, Abi kayak gak kenal Radi aja? Sejak kapan Radi memikirkan hal lain selama dia tugas selain tema ceramah yang dibawakan setiap malam?"
Kali ini bukan aku yang menjawab, melainkan Kak Ayyas. Sepertinya dia tidak hanya fokus pada jalanan, tetapi juga kepada permbicaan aku dengan Abi.
"Jadi belum ada nih?"
"Belum ada, Bi," jawabku kemudian.
Dari kaca depan mobil, aku dapat menangkap Abi mangguk-mangguk mendengar jawabanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...