Uni's Pov
Waktu terus berotasi, mengganti detik ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu. Gak terasa aku udah tiga minggu di sini, dan hari ini adalah hari terakhir aku berada di kompleks sebab esok aku udah kembali ke rumah.
Anak-anak yang tinggal di rumah Fung Anna pun satu per satu telah mudik beberapa hari yang lalu, tersisa Gea dan Narti. Nampak kedua anak itu masih betah di kompleks dan belum memutuskan untuk mudik.
Pagi ini, tepat pukul 10.44 waktu setempat.
Usai mandi dan beberes rumah, aku memutuskan untuk jalan-jalan mengelilingi kompleks—sendirian, sebab Gea dan Narti sejak tadi tak kelihatan batang hidungnya. Entah pergi kemana mereka, aku gak tahu.
Aku berjalan santai saja, menikmati udara kompleks yang sangat sejuk meski telah beranjak siang. Suasananya sepi bisa dibilang tak berpenghuni, banding terbalik waktu pertama kali aku tiba di mana kulihat beberapa santri jalan berombongan ke masjid atau ke mana saja.
Merasa capek, aku memutuskan duduk di salah satu bangku yang tersedia. Pandanganku memutar, merekam setiap benda yang tertangkap bola mataku. Daun yang jatuh pun aku rekam, menyimpan rapi di memoriku. Agar suatu saat nanti, bila aku tak kembali di sini dan merasakan yang namanya pesantren, aku bisa mengulang kembali memori yang sempat kurekam, kembali ke masa aku di kirim ke sini oleh Etta.
Puas mengedarkan pandangan, aku beralih pada buku yang sejak tadi kubawa kemana-mana. Buku "Definisi Patah Hati" karya Sri Wahyuni, buku perdana Kak Nunii yang dipinjamkan padaku beberapa hari lalu. Aku sudah melahap habis bacaan tersebut, yang mana berisi sembilan cerita pendek perihal patah hati. Rencananya aku ingin mengembalikannya sekarang.
Aku bersyukur banget bisa baca buku itu setelah patah hati yang diciptakan Kak Indra secara tiba-tiba, setidaknya patah yang kurasakan kini berangsur sembuh melalui hikmah yang terkandung dalam buku tersebut.
Ada satu bagian dalam buku perdana Kak Nunii yang berhasil membuat aku sadar, bahwa patah hati tidak hanya berarti kecewa karena putus cinta atau hilang harapan tapi juga sebagai jalan menemukan cinta sejati.
Kalau gak salah bunyinya kayak gini, "Karena patah hati adalah cara Tuhan memisahkanku dengan cinta yang salah dan mempertemukan aku dengan cinta yang sesungguhnya."
Sumpah!
Sejak aku baca kalimat itu, aku langsung sadar bahwa tak seharusnya aku terus-menerus meratapi Kak Indra yang jelas-jelas bukan jodohku. Aku harus bisa membuka diri, tak ingin terpasung bayang-bayang Kak Indra. Mungkin saja, lelaki yang Etta rencananya akan dijodohkan denganku adalah cinta sejatiku. Bisa saja kan? Tapi aku belum memutuskannya sekarang. Aku akan memutuskannya di hadapan Etta, kalau pulang nanti. Apapun itu, itulah yang terbaik. Dan Buku Kak Nunii salah satunya berperan penting bagiku dalam mengambil keputusan ini.
"Assalamualaikum."
Sontak aku kaget mendengar ucapan salam itu, "Waalaikumussalam," jawabku begitu melihat sosok yang mengucapkan salam ialah Kak Nunii.
"Duduk, Kak!" ucapku kemudian dengan senyum mengembang di bibirku.
"Iya, Dik," ia akhirnya duduk di sampingku.
"Makin hari, suasana kompleks makin sepi," katanya mengedarkan pandangan ke sekitar kompleks.
"Iya, Kak. Semuanya pada mudik."
"Wajar aja sih, seminggu lagi bakal lebaran lagi pula hari ini adalah pertemuan terakhir pesantren kan?"
"Iya, Kak."
Sesaat kami berdiam, tak tahu harus membahas apa lagi. Hanya semilir angin dan suara-suara kendaraan di jalan luar sana yang memecah keheningan kami sangking sepinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...