Uni's Pov
Aku terbangun begitu matahari sudah muncul di ufuk timur dan menyinari segala penjuru, kulihat jam yang tertera di layar HP-ku telah menampilkan angka enam lewat tiga puluh menit. Ah! Rupanya aku kebablasan. Beginilah aku kalau sedang mengalami datang bulan, aku selalu telat bangun. Suatu kebiasaan buruk yang tak patut untuk ditiru.
Samar-samar kudengar anak-anak ada di ruang tamu, mereka seperti membicarakan sesuatu namun tak jelas kudengar perihal apa. Tapi aku tak mempedulikannya, aku sibuk berdiri merenggangkan otot-ototku yang terasa kaku. Setelah itu, membereskan tempat tidurku dan bergegas mandi.
Setelah mandi dan memakai baju, aku duduk di tepi kasur tanpa polesan bedak apalagi handbody. Asal kalian tahu, salah satu rahasia kecil dari diriku adalah malas menggunakan kedua benda itu kalau berdiam di rumah, alasannya ya ngapain juga makai kan tinggal di rumah? Yang mau lihat siapa? Lagi pula, kalau pun harus dandan keluar rumah, paling-paling aku pakai kedua benda itu saja sih. Soalnya aku gak kebiasaan pakai lipstick. Hehehe. Jadi, kalau berdiam di rumah aku hanya sisir rambut dan memakai pencegah bau badan. Wahahaha. Kentara deh aku yang gak tahu perihal peralatan make-up. Duhh, jadi malu deh.
Aku meraih HP-ku yang sudah diisikan daya, lalu dengan perlahan aku telah larut di dunia maya hingga tersadar seseorang telah mengetuk pintu kamarku.
⸙⸙⸙
Radi's Pov
"Assalamualaikum," ucapku membuka pintu.
"Waalaikumussalam," jawab Kak Ayyas dan Abi.
Aku baru saja dari masjid selesai melaksanakan salat duha, salah satu salat sunnah yang istimewa manfaatnya. Biasanya dikerjakan 20 menit setelah matahari terbit hingga 15 menit sebelum zuhur.
Pelaksanaannya pun tidak jauh berbeda dengan salat lima waktu, dapat dikerjaan dengan 2 rakaat hingga paling banyak 12 rakaat dengan masing-masing rakaat diakhiri dengan satu salam.
Salat duha ini dikenal dengan nama salat sunnah memohon rezeki dari Allah SWT. Ada banyak manfaat dan keutamaan dari salat tersebut seperti memudahkan segala urusan, mencukupi kebutuhan, pahalanya seperti kita bersedekah, wajah terlihat bercahaya dan awet muda.
"Keadaan Abi sekarang bagaimana?" tanyaku berjalan ke arah mereka, terlihat Kak Ayyas sedang menyuapi Abi.
"Alhamdulillah, kata Dokter lusa Abi sudah boleh pulang," jawabnya sebelum menyambut suapan yang kesekian dari Kak Ayyas.
"Syukurlah kalau begitu, Bi," sahutku berdiri di samping Kak Ayyas memegang kedua kaki Abi.
"Lain kali Abi turuti kata Dokter ya, jangan ngeyel terlebih lagi tergoda dengan makanan-makanan yang berpantangan penyakit Abi," pesan Kak Ayyas.
"Kau berdua sama saja dengan ummimu, cerewet."
Aku dan Kak Ayyas tersenyum menanggapi.
"Ini juga demi kebaikan Abi," sahut Kak Ayyas memberikan suapan terakhir untuk Abi. Aku langsung mengambi air minum di atas nakas lantas memberikanya kepada Abi begitu makanannya selesai ia telan.
"Uhh, makanan rumah sakit ini aneh, tak seperti masakan ummi kalian di rumah," protes Abi menyerahkan gelas yang masih berisi setengah.
"Namanya juga rumah sakit, Bi, pokoknya begitu Abi pulang, Abi gak boleh makan macam-macam lagi, dan gak boleh nyuruh Ummi masakin masakan yang berpantangan dengan penyakit Abi," kali ini aku yang mengganti Kak Ayyas menasihati Abi.
"Iya-iya, baiklah." Akhirnya Abi menyerah juga.
"Ummi kalian kemana?" tanyanya kemudian menyadari Ummi tidak ada di kamar.
"Ummi balik ke rumah Abi, barangkali mandi dan ganti pakaian. Kemungkinan sekarang sudah di jalan."
"Hmm, baiklah."
"Ini obatnya, Bi, dihabisin ya," Kak Ayyas memberikan beberapa pil kepada Abi. Abi pun menerima obat tersebut dan menelannya bulat-bulat, lalu mengambil air yang berisi setengah itu dari tanganku dan menghabisnya tak tersisa.
"Alhamdulillah."
"Oh ya, Rad, bagaimana tempat tugasmu, Nak?"
"Baik, Bi. Untuk sekarang Radi digantikan dengan teman Radi yang kebetulan tinggal di sana," jelasku.
"Kau tak berniat kembali?"
"Eh? Hmm, entahlah, Bi. Kalau kondisi Abi membaik, mungkin Radi kembali menunaikan kewajiban."
"Kau harus kembali, siapa tahu di sana kau menemukan calon istri, bukan? Jangan seperti kakakmu, sudah didesak tapi belum dapat-dapat juga. Kalau kau tak ingin dijodohkan juga, segeralah cari sebelum Abi menjodohkanmu."
"I-iya, Abi."
Huft! Enggak di rumah, di rumah sakit, tetap saja Abi membahas perihal perjodohkan. Begitu pentingkah? Kulirik Kak Ayyas, ia hanya tersenyum. Sepertinya Kak Ayyas sudah berbicara dengan Abi tadi dan menerima perjodohan itu. Urusan mereka sudah selesai, sebentar lagi aku yang akan berurusan dengan Abi mengenai perjodohan. Ya, tentu saja itu terjadi bila aku tak menemukan calon. Jadi, tugasku saat ini selain penyelesaikan studiku yang tinggal beberapa langkah lagi juga mencari calon istri.
Ketahuilah, Kawan!
Ini benar-benar rumit. Mencari calon istri itu tak segampang mencari judul proposal. Aku harus mencari yang benar-benar sevisi-misi denganku, beriman, utamanya menerima aku dengan segala kelebihan dan kekuranganku, dan taat kepada suaminya.
Itu sangat rumit, Kawan.
"Bagaimana, Rad? Kau sanggup? Kalau tidak, katakan saja! Nanti Abi carikan yang cocok denganmu, sama seperti kakakmu."
"Ehh, tidak usah Abi. Radi akan cari sendiri, Radi usahakan secepatnya," cegahku.
Tampak kulihat, guratan senyum di wajah pucatnya.
"Abi harap kau cepat menemukannya, agar Abi tak mendesakmu. Kalian tahu kan, kondisi Abi sudah tak sesehat dulu. Abi hanya ingin melihat kalian semua menikah dan memberikan Abi cucu, kalian tak tahu bagaimana sunyinya rumah saat kalian pergi mengejar impian kalian. Ayyas dengan urusan bisnisnya, kau dengan mimpi-mimpimu."
Ya Allah!
Begitu sunyikah perasaan Abi selama ini? Aku tak pernah berpikir jika selama ini mereka amat kesepian tanpa aku dan Kak Ayyas. Walau kami sering mengiminya kabar.
Ah, Abi.
Kupikir desakan menyuruh kami untuk cepat menikah karena takut kami terlalu nyaman untuk sendiri dan asyik dengan dunia kami, ternyata lebih dari itu. Abi menginginkan rumah yang sepi kembali hidup, dan cara menghidupinya ialah dengan memberinya seorang menantu dan cucu.
Aku mengerti perasaan Abi.
"Usai lebaran nanti, Ayyas akan menikah. Besar harapan Abi, bila kamu juga bisa menyusul kakakmu segera," lanjut Abi.
Aku terperangah, sungguh aku kaget mendengar perkataan Abi. Secepat itukah pernikahan Kak Ayyas? Kulirik Kak Ayyas, ia hanya tersenyum mengangguk seakan tahu apa yang ingin aku tanyakan.
"I-iya, Bi. Nanti Radi usahain dapat calonnya," hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku.
Abi tertawa, "Abi tak memaksamu cepat-cepat juga, Radi. Bagaimana pun kakakmu sudah bersedia dijodohkan, itu sudah mengabulkan harapan Abi menghidupkan rumah kita. Namun, tetap saja usai kuliahmu Abi akan tetap menagih calon mantuku."
"Hehehe, iya, Bi."
Ah! Tetap saja bukan?
Aku tak tahu harus mencari kemana, haruskah kuminta kepada sang guru mencarikanku calon? Ini benar-benar tugas baru yang membuatku frustrasi.
Tiba-tiba saja, bayangan gadis penunggu halte itu menghantuiku. Apa aku bisa bertemu kembali dengannya?
⸙⸙⸙
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...