Episode 33

254 24 0
                                    

Uni's Pov

"Kamu gak ingin ikut?"

"Enggak!"

"Kenapa?"

"Malas, Kak. Lagi pula, nanti siang teman-teman Uni mau datang," alasanku.

"Oh ya sudah kalau gitu."

Aku menghela napas, saat Kak Rehan berlalu meninggalkan diriku di ruang tengah keluar rumah.

Hari ini teman Kak Rehan yang bernama Radi itu telah balik ke kampung halamannya (Aku akhirnya tahu namanya saat Kak Rehan menyebut namanya di parkiran kemarin). Ada banyak orang-orang yang ikut mengantar kepulangannya termasuk Kak Rehan.

Tadi juga Kak Rehan mengajakku ikut, tapi aku gak mau. Bukan karena malu sebab kemarin gak sadar nyium tangan Kak Radi, tapi terlebih untuk menjaga hatiku. Aku gak mau berharap terlalu jauh lagi, apalagi aku sadar bahwa aku telah menyetujui rencana perjodohan Etta.

Pada akhirnya aku menyadari bahwa rasa kagumku terhadap Kak Radi berujung menjadi rasa suka, dan mungkin menjadi rasa ingin memiliki seperti saat aku mengagumi Kak Indra dulu. Meski aku baru saja mengenalnya, namun entah mengapa bayang-bayangnya selalu mengganggu pikiranku. Bahkan aku sempat bermimpi, mimpi yang rasanya sangat nyata sekali, di dalam mimpiku itu aku menikah dengan Kak Radi. Aneh kan?

Astagfirullah!

Kok malah jadi kepikiran lagi sih?

Aku menepuk-nepuk pipiku, tak sadar Kak Rehan masuk lagi ke rumah.

"Uni, Kakak berangkat dulu. Kalau Fung Anwar nyariin, bilang aja pergi ngantar Radi. Oke?"

Aku berbalik ke arahnya yang emang berdiri di dekat pintu dan menjawab, "Iya, Kak."

"Oke. Assalamualaikum," pamit Kak Rehan.

"Waalaikumussalam."

Sepeninggalan Kak Rehan, aku meraih ponselku. Mengecek posisi teman-temanku, katanya mereka sudah di jalan tadi tapi gak tahu jalan ke mana, kan biasanya gitu bilang di jalan gak tahunya masih di kamar mandi atau emang di rumah teman sih nungguin teman.

Aku membuka grup chat, di sana sudah banyak pesan-pesan dari mereka, salah satunya posisi mereka saat ini yang berarti sudah dekat. Aku tersenyum membaca pesan tersebut lantas membalasnya, setidaknya aku tidak khawatir lagi mengingat ini kali pertama mereka berkunjung ke rumah.

Aku menutup grup chat, lalu beralih men-scroll pesan-pesan ke atas. Pesan siar yang dikirim oleh teman kontakku yang isinya hampir sama ialah ucapan hari raya. Aku mengabaikan pesan-pesan itu, tak berniat membalasnya satu per satu.

Kembali aku men-scroll layar ponselku ke atas, hingga sampai pesan terakhir tak ada apa-apa. Aku men-scroll ulang layar ponselku, kali ini ke bawah. Hingga ibu jariku terhenti pada salah satu pesan yang statusnya ceklis dua biru tanpa balasan apapun. Aku langsung membuka pesan tersebut, lalu men-scroll-nya ke bawah.

Dari pesan paling atas tampak spam chat yang kukirim kepada pemilik kontak ini, awal aku mengira bahwa dia adalah Kak Rehan. Ibu jariku pun menggeser layar ponsel ke atas, menampilkan isi pesanku yang tengah curhat kepada sang pemilik akun, memaksa ia menanggapi pesanku, hingga akhirnya ia membalas dan memberikan solusi.

Ibu jariku kembali menggeser layar ponsel ke atas, kali ini menampilkan pesan yang dikirim sang pemilik akun yakni sebuah foto matahari terbit—foto kesukaanku, kemudian pesan terima kasihku, hingga berakhir pesan rasa kagumku padanya yang sampai sekarang belum ia balas.

Aku tersenyum miring melihatnya, bersyukur sebab ia tak menanggapi pesanku. Itu berarti sudah saatnya aku mengubur perasaan yang hampir subur ini, biarlah ia mati sebelum berbunga. Sebuah perasaan yang tak seharusnya tumbuh dalam lahan yang menginginkan ia mati.

Taaruf dalam Doa || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang