Uni's Pov
"Assalamualaikum," ucap Fung Anna dengan beberapa anak lainnya.
"Waalaikumussalam," aku menjawab salam mereka yang disusul oleh Gea dan Narti.
Mereka baru saja pulang habis salat tarawih dengan mengambil dua puluh rakaat.
"Kalian belum tidur rupanya?" tanya Fung Anna heran melihat kami masih ada di ruang tamu. Biasanya sebelum pukul sepuluh itu aku dan Gea sudah tertidur di kamar. Kami tak khawatir bila pintu rumah terkunci, sebab Fung Anna selalu membawa kunci cadangan lagipula rumah Fung Anna cuma berjarak lima puluh meter dari masjid.
"Hehehe, iyye, Fung," cengir Narti.
Fung Anna menggeleng-geleng kepala, "Ayo, kalian semua pada tidur. Insyaallah, nanti kita bangun salat sunah tahajjud," perintah Fung Anna.
"Iyye, Fung," ucap anak-anak masuk ke kamar masing-masing.
Aku pun bangkit dari dudukku, berjalan menuju ke kamar. Tiba-tiba Fung Anna mencegahku.
"Uni, bagaimana kegiatan pesantrenmu, Nak?" tanyanya.
"Baik, Fung. Berjalan seperti biasanya," jawabku.
"Alhamdulillah, kegiatan itu memang bersifat umum, Nak. Setiap orang bisa mengikutinya, untuk itu etta-mu mengirimmu ke sini, agar kau bisa belajar sedikit demi sedikit. Walaupun kamu gak mengikuti semua programnya, setidaknya kamu bisa mengikuti kegiatan pesantren usai Zuhur sampai sebelum Asar," jelas Fung Anna.
"Iyye, Fung."
"Oh iya, dengar-dengar etta-mu mau kemari ya?"
"Iyye, Fung. Katanya pertengahan Ramadan."
"Berarti tinggal beberapa hari lagi ya?"
"Hehehe, iyye, Fung."
"Hmm, ya sudah. Kau ke kamar."
Aku kembali melangkahkan kakiku ke kamar, namun baru beberapa langkah, Fung Anna memanggilku lagi.
"Iyye, Fung?"
"Bacaan Alquranmu bagaimana, Nak? Kau lancar membacanya?"
Ah! Sial! Pada akhirnya Fung Anna menanyakan itu, padahal sejak masuk Ramadan aku belum menyentuhnya.
Aku memasang tampang nyengir.
Fung Anna menghembuskan napas panjang, "Nanti kalau kau sudah bersih, setelah salat subuh di masjid jangan langsung berangkat JJS. Berdiam diri dulu di masjid selama setengah jam, mereka kadang melakukan pengajian rutin. Kau bisa gabung di sana, nanti Ibu kasih tahu ketuanya. Dan ini menjadi tambahan rutinitas kamu selama di sini," Fung Anna menjelaskan panjang kali lebar.
Masyarakat! Mengikuti pesantren usai zuhur saja kadang membuatku lesu, apalagi di tambah pengajian rutin usai Subuh. Isshh, Etta benar-benar menyiksaku di sini.
"Baiklah, Fung," jawabku tak bersemangat balik arah menuju kamar.
"Ibu gak mau ya, begitu usai Ramadan bacaan Alquranmu masih tersendak-sendak kayak anak SD mau belajar," Fung Anna setengah berteriak.
"Iya, Fung," sahutku menutup pintu kamar.
Huft!
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang empuk, membuat punggungku yang kaku terasa nyaman. Aku meraih HP-ku yang tergeletak tak berdaya di kasur, kemudian membuka salah satu media sosialku. Begitu terbuka, sudah banyak story yang ter-update di sana. Aku membacanya satu per satu, ada banyak macam tulisan mulai dari yang bersyukur udah buka puasa, bersiap pergi salat tarawih, berpose di depan masjid, sampai ada yang bermain boomerang di masjid. Aku tak begitu peduli dengan itu semua, toh hidup mereka bukan aku yang urus. Terlalu banyak mengomentari kehidupan orang bagiku akan berdampak buruk untuk diri sendiri. Sebab, ada banyak orang-orang yang tak sepaham dengan kita. Mungkin bisa saja niat kita baik dalam mem-posting sesuatu, tapi pemikirian orang yang melihatnya beda. Ia bisa saja beranggapan bahwa kita ini tukang pamer, padahal kenyataan belum tentu begitu. Aku men-scroll ke bawah, membaca satu per satu, hingga tak sadar kalau aku sudah tertidur.
⸙⸙⸙
Radi's Pov
Aku terbangun begitu layar di HP-ku menunjukkan angka tiga lewat sebelas dini hari, kulihat di sampingku sudah tak ada Kak Ayyas. Ummi yang tadinya tidur sambil duduk di samping Abi pun kini sedang menunaikan salat malam.
Aku beranjak keluar kamar, berniat menuju musalah rumah sakit untuk menunaikan salat sunah tahajjud. Selesai berwudu, aku masuk ke musalah. Suasana musalah terlihat sepi, wajar saja masih dini hari. Aku hanya mendapati satu orang yang duduk bersila saf depan, jelas kudengar ia sedang melantunkan ayat Alquran. Jelas sekali aku mengenalnya, tak lain dan tak bukan adalah Kak Ayyas. Suara khasnya saat mengaji itu amat aku kenal dan sudah lama aku tak mendengarnya, begitu menenangkan. Aku memutuskan menunaikan salat di dekatnya dengan jarak sekitar satu meter.
Usai salat dan membaca Alquran, aku balik bermaksud kembali ke kamar inap Abi. Namun urung saat mendapati Kak Ayyas bersandar di sisi musalah memperhatikanku.
"Kak Ayyas belum ke kamar inap Abi?"
"Kakak menunggumu, biar sekalian," jawabnya seraya berdiri.
"Bagaimana kalau kita cari makanan sahur sebelum kembali? Sekalian kita makan di kamar inap Abi," usul Kak Ayyas.
"Boleh, Kak," ucapku.
Kami pun berjalan keluar musalah, melewati lorong-lorong rumah sakit yang terlihat mencekam dengan suasana dingin menusuk tulang-tulang. Tibalah kami pada sebuah warung di samping rumah sakit, warung itu buka dua puluh empat jam. Begitu yang kubaca di plangnya sebelum Kak Ayyas masuk memesan tiga porsi makanan untuk dibungkus.
Sambil menunggu Kak Ayyas keluar dari warung, aku memutuskan untuk duduk di bangku panjang samping warung. Kulihat sudah ada beberapa orang yang sedang menyantap sahur di dalam sana, sebelum tatapanku mengarah ke depan memperhatikan suasana yang pelan-pelan menjadi ramai. Kemungkinan orang-orang telah bangun untuk makan sahur. Satu dua kendaraan malah kulihat lalu-lalang, ada juga yang berhenti di warung dua puluh empat jam memesan makanan. Kalau kulihat, sepertinya ia adalah salah satu keluarga pasien yang menjaga pasien rumah sakit.
"Ayo, Rad!" ajak Kak Ayyas yang sudah keluar dari warung. Ditangannya terdapat kantong plastik berisi tiga porsi makanan.
"Iya, Kak," aku berjalan beriringan dengannya sampai ke kamar inap.
⸙⸙⸙
"Assalamualaikum," ucap kami bersamaan begitu Kak Ayyas membuka pintu kamar.
"Waalaikumussalam," sahut Ummi duduk di samping Abi.
"Kalian dari mana?" tanyanya lagi menghampiri kami.
"Ke musalah, Mi, terus cari makan buat sahur," Kak Ayyas berucap sembari memberikan bingkisan yang dibawah kepada Ummi.
Ummi pun meraihnya dan membukanya, beliau membagikan satu per satu. Kami pun lantas menikmati sahur untuk pertama kalinya di rumah sakit penuh khusyuk dengan duduk bersila di atas karpet.
Sahur kali ini benar-benar nikmat dan menyenangkan. Aku pernah membaca sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, isinya begini, "Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan."
Kupikir itu tidak salah, sebab kini aku telah merasakannya. Menikmati sahur bersama Ummi dan Kak Ayyas, suatu momen yang amat langka terjadi di keluarga kami sebab aku menunaikan kewajiban sebagai mubalig dan Kak Ayyas menjalankan bisnis Abi. Ya, walau Abi masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Aku berharap semoga Abi cepat sembuh. Aamiin yaa Rabb.
⸙⸙⸙
KAMU SEDANG MEMBACA
Taaruf dalam Doa || SELESAI
Teen FictionUni gak pernah tahu alasan ayahnya mengirim ia ke pondok. Pun dengan Radi, tak pernah tahu bahwa pertemuannya dengan seorang wanita di halte membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Mereka hanya tahu bahwa apa yang diperintahkan adalah tugas yang haru...