The Real Hurt

7.7K 789 16
                                    

Saat penyakitnya kembali kambuh Haruto di buat merasa sangat bersalah ketika kedua orangtuanya di serang rasa khawatir secara berlebihan, namun setelah di rawat cukup lama di rumah sakit yang sudah seperti rumah kedua untuknya itu membuat Haruto merasa sangat kesal akan keadaan dirinya saat itu.

Dan untuk menghibur suasana hati sang anak, pasangan Namikaze  memutuskan untuk mengajak si sulung untuk berlibur dengan syarat keadaanya sudah pulih dan membaik untuk kegiatan kesehariannya, kemanapun  yang di inginkannya.

“ayolah Sas, ikutlah sekali ini saja. Ku mohon” Haru mencoba merayu

Sedang yang di rayu terlalu fokus pada lembaran soal yang di kerjakannya “kau pergilah, tempat itu terlalu jauh”

Mencebik sebentar Haru bangun dari berbaringnya duduk bersila di tengah ranjang

“kau sangat membosankan Sas”

“ya itulah aku”

“cih, sesekali kan tak apa. Please, kalau kau ikut aku  janji akan ku kenalkan dengan adik ku “

Menyelesaikan soalnya Sasuke memutar duduknya mengarah pada si cerewat Haruto

“tidak, terima kasih”

Dan Sydney adalah pilihan Haruto, bukan tanpa alasan ia memilih Sydney untuk di jadikan tempat berlibur. Haruto berniat untuk bertemu dengan sang adik yang tinggal terpisah dengannya sejak usia mereka masih sangat kecil dan mengajak si bungsu untuk berlibur dengan keluarga lengkap.

“Naru!”

melihat saudara nya baru saja tiba membuat Haru yang berada di tangga itu berseru dengan riang.

“akhirnya kau kembali, aku sangat merindukanmu, kau tau? Ah, bagaimana dengan sekolahmu apa hari mu menyenangkan?”

Berbanding terbalik dengan saudara yang menghampirinya dengan riang dan bersemangat menanyainya bak seorang wartawan handal, Naru sang adik memandang Haru dengan raut wajah datar.

“who are you?”

Mendapati pertanyaan tak terduga, Wajah cerianya secara tiba-tiba di buat terkesiap tak terkecuali sang ibu yang juga berada tak jauh darinya.

“ahhh..” seakan mendapat kesadarannya Haru tersenyum sebentar menatap sang adik “ini aku Haru, Namikaze Haruto. Kakak mu, apa kau melupakan kakak mu ini? Uhg, kau kejam Naru”

Haru membuat gestur mengusap dada kirinya bermaksud bergurau.

“tapi tak apa, aku mengerti kau mungkin sedikit lupa  akan diri ku. Yah walau bagaimanapun kita jarang sekali bertemu setelah kau meninggalkan ku tinggal jauh di negara ini”

Pemuda tiga belas tahun itu memandang jengah pada lawan bicaranya “aku Naruto Uzumaki, aku bukan melupakan mu  aku memang tak mengenalmu bahkan semua yang bersangkutan dengan Namikaze. Aku tak memiliki saudara, tak memiliki orangtua-”

“Naruto!”

sang ibu yang mendengar ucapan si bungsu yang tak terduga sebelumnya itu berseru.

Tak menghiraukan seruan sang ibu,  Naruto  memandang  saudaranya masih dengan tatapan yang sedari awal di tunjukkan.

“jaga bicaramu! Ibu tak pernah mengajarimu berbicara sekasar itu terlebih pada kakakmu sendiri”

Berbalik, kini Naruto lah yang di buat  terkesiap mengelus dahinya akibat jentikan keras jari ibunya, hatinya memanas.

“kapan dan dimana ibu mengajariku? memangnya sejak kapan ibu mau membuang-buang waktu untuk mengajariku? Bahkan sekalipun KAU TAK PERNAH MENGAJARI KU JADI JANGAN SEENAKNYA MEMUKULKU!!”

Tak lagi menghiraukan tatak rama yang di pelajarinya di sekolah Naruto berteriak marah pada sang ibu, tersadar Kushina mengutuk dirinya sendiri. Ingin meraih sang anak, sayangnya Naruto dengan cepat menghindar tak ingin di sentuh.

Naruto memalingkan wajahnya pada Haru yang diam dalam keterkejutan “dan yah, aku memang kejam.  Tapi percayalah ada yang bahkan lebih kejam dari ku”

Selesai berucap Naruto kembali membawa langkahnya menuju ke arah ruang pribadi miliknya menghiraukan raut terkejut Haruto serta sang ibu yang berdiri mematung di tempatnya.

Tepat saat kakinya menginjak anak  tangga pertama, Naruto melirik sebentar pada kakaknya itu.

“dan  asal kau tau saja, aku bukan pergi dengan senang hati, tapi di buang!”

Di  umurnya yang ke 13 tahun Naruto menyadari satu hal, ia tak di inginkan. Dengan kata lain orangtuanya membuang dirinya.

Di 13 tahun umurnya Naruto sadar selain neneknya tak ada orang yang benar-benar peduli atas eksistensinya di dunia.

Rasa sakit akibat kekecewaannya selama masa kanak-kanak memupuk menjadi satu menghitamkan hatinya dan melapisinya dengan rasa dendam.

Just,Stop!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang