Not that kind of Hero

108 18 7
                                    


"Pada setiap keindahan, ada sepasang mata yang melihatnya. Pada setiap kebenaran, ada telinga yang akan mendengarnya. Pada setiap cinta, ada hati yang akan menerimanya."
- Ivan Panin.





Percuma saja, diberi penjelasan seperti apapun, saat itu dunia Shana serasa gelap gulita. Bahkan otak dan indra lainnya seperti buta dan lumpuh, tak mampu memproses hal-hal logis apapun.

"Pergi,.. " desis Shana pelan sekali. Namun Seoho masih bisa mendengarnya jelas karena ruangan yang senyap itu.

Akan tetapi alih-alih menurut untuk pergi, Seoho ingin sekali melangkah cepat-cepat dan memberi pelukan untuk mendukung Shana. Jadi ia kembali mendekat.

"Pergi! Kumohon, pergi!" Shana menunduk dalam hingga rambut coklatnya turun dan menutup hampir seluruh wajahnya. Ia berusaha menyembunyikan tangisnya di depan Seoho.

Mendengar intonasi perintah Shana meninggi, ia kemudian berhenti mendekat. Lalu perlahan akalnya meminta hatinya untuk mengurungkan niat menghibur Shana. Demi kebaikan Shana sendiri.

"Maafkan aku, Shana. Jaga dirimu."

Dengan langkah berat, Seoho berjalan mundur perlahan, meninggalkan Shana yang masih shock dengan tatapan tertunduk memperhatikan lantai marmer di bawahnya. Dia meralat otomatis pikiran-pikiran positif yang berusaha ia bangun dengan susah payah saat tadi Seoho menelepon 2 jam sebelumnya. Kini, pagar pikiran positif itu runtuh, dan sebuah benteng tinggi berupa kebencian mulai terbentuk.

Ini gara-gara Athena.
Gadis itu yang menyebabkan Seoho-ku yang tampan dan ceria menjadi dingin seperti ini.
Iya, pasti itu.
Penyihir itu!

Beberapa menit berselang setelah kebencian sepenuhnya menyelimuti otak mungil Shana, gadis itu kembali mendengar suara deru mobil meninggalkan pekarangan rumah. Dengan langkah panik, ia tergopoh membuka pintu keluar dan tanpa sadar ia sudah berada di luar teras rumah. Tak beralas kaki.

Matanya hanya memandang ayahnya yang kini berbalik menatapnya. Wajah yang telah berkerut di sekitar daerah mata dan pipi itu menatap putrinya dengan ekspresi janggal.

"Papa? Papa membiarkan Seoho pergi?" bahu Shana terkulai lemas ditempatnya.

Tuan Zhang mendekat ke putri tunggalnya itu. Diperhatikannya gelagat Shana yang menunjukkan kecemasan, ketakutan, shock dan keguncangan lainnya. Satu tangannya menepuk pundak gadis itu.

"Shana, kau yang menyuruhnya pergi, bukan?"

Shana membalas tatapan ayahnya penuh penyesalan.

"Tidak, Papa! Seoho tidak boleh pergi! Papa! Ini tidak boleh bukan? Ini tidak adil 'kan untuk aku? Iya, 'kan? Papa?!" Shana nyaris membuat ayahnya terjengkang karena guncangannya yang begitu kuat pada bahu Tuan Zhang.

Tuan Zhang dengan hati-hati mengelus punggung tangan putrinya yang masih memegangi lengan atasnya kuat. Ditatapnya bola mata gadis itu yang bergetar hebat. Ia mirip sekali dengan ibunya, sifat posesifnya juga.

"Sayang, kamu harus tenangkan pikiranmu dulu. Iya, nanti Papa bicara lagi dengan Seoho. Ya?" bujuk Tuan Zhang sambil menamatkan pandangan pada langit sore.

Mendung.

Tatapannya lalu jatuh ke bawah, kepada kaki Shana yang tidak beralas sama sekali. Dengan isyarat tangan, Tuan Zhang meminta dua pelayan wanita yang dari tadi memperhatikan -sebenarnya semua pelayan di sekitar rumah memperhatikan kejadian itu- untuk mendekat dan membawa masuk kembali Shana ke dalam rumah.

"Tapi, benar 'kan, Papa? Aku tidak salah apa-apa 'kan? Seoho akan kembali 'kan?" kata Shana sebelum dua pelayan wanita tadi mulai mengurai pegangan kuat Shana dari Tuan Zhang. Keduanya membawa gadis itu menjauh, masuk ke dalam rumah. Meski selama berjalan, Shana tertatih tanpa alas kaki dan meracau tak jelas tentang Seoho.

Twilight Bond : Falling DawnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang