Oke, Thena.
Tak apa.
Yang lain pasti bisa."Permisi, bisakah aku ikut masuk ke kelompok ini? Guru tadi memperbolehkan jika hanya lebih dari 1 anak," tanya Athena lagi sembari menghadapi anak di kelompok 2. Kali ini sambil tersenyum sesantai mungkin. Memakai topeng badut tak kasat mata.
"Ahh, kami sudah punya bahan diskusi soalnya, ini berdasarkan tiap anggota juga, jadi kurasa kamu tidak bisa masuk,. Maaf, ya?" jawab salah satu dari mereka, sepertinya bertindak sebagai ketua. Dan, sambil mengangguk paham, Athena mohon diri dari kelompok.
Kelompok 3, yang terakhir.
Bisa, kau bisa Thena.
Ini bukan akhir segalanya.Menghembuskan nafas sepelan mungkin, Athena menghampiri kelompok terakhir, mengutarakan niat yang sama persis dari sebelumnya.
"Hey, kau seharusnya berkaca dulu, kau itu siapa, hingga berani mengajukan diri untuk masuk ke kelompok kami? Kau tidak lebih dari gadis dingin berwajah sombong yang anti-sosial, kau kira satu kelas tidak mengetahui hal itu?"
Cercaan gadis bermata sipit itu kepada Athena memenuhi ruang kelas, mendiamkan banyak mulut. Dia gadis yang sama dengan yang salah paham tentang kejadian di loker sepatu outdoor tempo hari.
Athena, lambat laun merasa dirinya berdiri bagai pohon tua yang tegak namun rapuh.
Saat itu, di otaknya berkeliaran ingatan tentang sticky notes dan coretan-coretan di mejanya.
"Kenapa diam, hah? Jadi benar, ya? Kau tahu kenapa hari ini tidak ada yang mau sekelompok denganmu? Karena kau yang pendiam, pemurung dan selalu menatap kejam kepada siapapun, tiba-tiba berpura-pura manis dengan meminta tolong. Itu menjijikkan. Membuat kami sakit hati."
Sudah, hentikan.
Aku tidak pernah kejam pada siapapun!
Aku hanya---- Aku hanya--"Bagaimana anak-anak? Sudah putuskan bahan diskusi?" suara guru melintasi ruang kelas. Perempuan berusia akhir 40an itu kembali duduk di meja mengajar.
"Thena, kenapa?" tanyanya saat melihat Athena di tengah kelas terdiam mematung.
Si gadis sipit tadi mengangkat tangan.
"Ah, bu, tadi Athena bilang, dia ingin mengerjakan soal individu saja! Karena dia merasa bisa melakukannya!" serunya normal dari tempat duduk, dan tiada yang menyangkal kebohongan itu. Satupun. Tentu saja kecuali hati kecil Athena.
Tidak.
Aku tidak bilang demikian."Oke, Athena. Kemari, ibu punya tugas untukmu. Jangan khawatir, ini nilainya akan kusamakan dengan tugas kelompok, karena bebanmu adalah mengerjakannya sendirian."
Athena berjalan menuju depan meja gurunya. Dia menatap perempuan yang tengah mengacak isi tasnya itu begitu lama, karena disaat itu ada ribuan epidemi yang menyerang pikirannya, memaksa lidahnya mengutarakan segala kebenaran sesungguhnya dari segala kebenaran. Tapi nurani-nya yang teramat baik hati melebihi malaikat manapun menentang luar biasa teguh pula.
Ia tidak suka merasakan perasaan tertekan semacam ini, ia ingin bebas mengatakan hal-hal lumrah-- meskipun itu hal jahat- seperti yang lainnya.
Tapi hatinya menolak pendapat sang otak, seperti ada pintu suci yang tidak bisa ditembus oleh kejahatan apapun disana.Athena merasa pening.
Setelah mendapat soal dari guru bahasa, Athena menenangkan diri seraya duduk di bangkunya. Ia menahan rasa sakit kepalanya demi bisa konsentrasi mengerjakan soal dihadapannya. Pada akhirnya, Athena sama sekali tak kesulitan. Dia mengerti setiap butir soal, dan selesai mengerjakannya terlebih dahulu dari yang mengerjakan dalam kelompok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twilight Bond : Falling Dawn
RomanceBagaimana jika seorang pemuda ceria dan ramah ternyata menyimpan rahasia yang membuatnya rapuh? Sanggupkah ia mencari dewi penolong yang mampu menerima dan memahami betapa rapuhnya dia? #5 di Anxiety, dari 613 cerita. 28 April 2020. #17 di Psycholo...