3

2.2K 134 6
                                    

Kadang aku bertanya kenapa mereka bisa hidup dengan baik bersama orang tua mereka, sedangkan aku seperti anak yang tidak di harapkan. Pikiranku sibuk mengumpulkan banyak alasan kenapa aku hidup seperti ini. Bukankah ini melelahkan?

Aku berjalan gontai mengambil kaosku yang tergantung dibelakang pintu, rasanya lukaku semakin sakit jika hanya berdiam diri disini. Kakiku masih bisa berjalan dengan baik meskipun sedikit pincang dan aku putuskan untuk berjalan-jalan ke toko buku saja.

Sesaat sebelum berangkat, aku melihat wajahku dicermin, rambut yang semakin gondrong membuatku terlihat urakan, Kinan dan Shani sudah menyuruhku untuk merapikannya, sayangnya aku masih betah dengan rambut panjangku, mungkin sebentar lagi aku akan memanjangkan jenggot juga bila perlu.

Jarak dari rumah ke toko buku yang lengkap lumayan jauh, jadi aku memilih untuk memakai taksi online saja. Tubuhku tidak kuat jika harus membawa kendaraan, membawa badan sendiri saja lelah, apalagi harus berperang melawan macetnya ibu kota.

Hampir empat puluh menit aku di jalan, itupun lewat jalan tikus yang biasa aku dan Kinan lewati. Dengan tubuh yang semakin sakit aku tiba disalah satu toko buku terbesar disini. Letaknya hampir bersebalahan dengan area kampusku dan Kinan. Aku sengaja jauh-jauh kesini agar papa bisa tenang dirumah, dan aku akan menginap di rumah baru Kinan. Rasanya lega bisa keluar dari rumah itu.

Aku segera masuk ke dalam toko buku, pandanganku dengan awas mengitari sekitar. Aku menyeret langkahku dengan pelan, berjalan sendirian membuatku nyaman, tak perlu berpikir akan kemana dan mencari topik apa untuk dibahas. Aku lebih suka berjalan seperti anak hilang.

Lantai dua adalah tujuan utamaku, kakiku terus berjalan terseok-seok menahan nyeri. Butuh waktu sedikit lama untuk sampai dan aku langsung memasuki toko buku yang akhir-akhir ini menjadi tempatku bersembunyi. Badanku mulai berekasi, ditambah pinggangku yang sakit membuat langkah kakiku terasa lambat. Untungnya siang ini toko buku tidak begitu ramai, aku sedikit lega. Mataku langsung menelusuri buku yang sekiranya menarik untuk ku baca. Semua rak ku singgahi, membaca judul demi judul, dan terkadang hanya melihat sekilas kemudian berjalan lagi menemukan yang pas dengan uang yang ku punya.

Aku berhenti disebuah rak yang berisi penuh novel, bibirku tersenyum melihatnya. Bukan, bukan karena novel atau buku yang baru saja ku baca. Namun mataku melihat gadis cengeng itu. Ternyata dia sedang berada disini,  apakah ini jodoh? Rasanya terlalu dini untuk menyimpulkan getar ini dan terlalu cepat meminta semesta mendukungku.

Lagi-lagi senyumnya bagai sihir, aku terdiam dengan tatapan nyalang. Ucapan Kinan waktu itu seolah menjadi pengingat bahwa aku dan dia hanya mimpi belaka. Aku menghembuskan napas kasar, kembali membangun konsentrasiku yang lenyap karena pesonanya. Tanganku sibuk mencari buku namun mataku tak bisa lepas darinya, aku terlalu pengecut untuk sekedar menyapanya.

Setelah berpikir cukup keras akhirnya ku putuskan untuk pergi. Namun semakin aku menjauh, semakin hatiku berkata lain.

Sialan, aku kembali ke rak tadi dan gadis itu masih betah di posisi yang sama. Aku menarik napas panjang, meredam degupan yang kian keras berdentam. sejak kapan aku menjadi tidak waras seperti ini.

"Dia sangat cantik." Gumamku tersenyum. Mataku terus menatapnya, setiap kali dia berpindah maka aku juga ikut melangkah. Keberanianku belum terkumpul sepenuhnya jadi aku hanya diam-diam memperhatikannya.

Aneh memang, aku baru beberapa kali bertemu tapi rasanya ada getaran lain yang muncul kepermukaan. Sejak hari itu Veranda selalu jadi nama yang sering ku sebut dalam diamku. Jangan tanya kenapa, akupun tidak tau.

Tanganku membuka ponsel yang sedari tadi ku genggam, entah setan apa yang merasukiku, tiba-tiba tanganku lepas kendali. Aku mengambil beberapa gambar gadis itu.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang