26

1.4K 118 26
                                    

Cerita yang pelik, lika-liku kehidupan, adalah salah satu bagian yang akan kita temui nanti dalam proses mengarungi bahtera hidup, dan semua kisah tidak semua berjalan sesuai apa yang kita inginkan. Tertawa lalu menangis kemudian, sejenak riang lalu kesepian, datang dan pergi, hilang dan kembali. Hidup akan terus berjalan, dunia tidak peduli bahkan saat hatimu terluka.

Tidak ada yang bertanggung jawab atas hidupmu, kecuali dirimu sendiri. Terjatuh, berlari, bangkit atau menyerah itu juga pilihanmu. Percayalah aku harus menikam luka pada setiap keputusan yang ku ambil.

Pernah aku berteman dengan sepi, mengakrabi perpisahan pasca ketiadaanmu. Ku pikir aku akan baik-baik saja, nyatanya aku terseok-seok mengobati luka yang tak kunjung reda.

Ada serupa riuh yang bergemuruh dalam dadaku tiap kali semesta membawaku pada memori setengah tahun lalu, tingkahmu tanpa romantisme rayu dan segala tentangmu yang masih tersimpan rapi oleh waktu. Aku mengusap pelan foto tanpa bingkai yang diam-diam sering ku genggam. Senyum hangat ini, aku rindu.

Langit jingga tak pernah lagi terlihat olehku, hanya gelap dan rintik hujan yang menemani. Terasa gamang dalam tubuh yang tak bergeming, tatapan nanar dan air mata yang memburai. Aku berdiri menatap tubuh kurusku di cermin. Cinta melumpuhkan logika.

Aku memutuskan berhenti menghindari takdir, mencoba lagi dari awal meski rasa itu kerap hadir. Tidak ada manusia yang ingin berada pada titik nadir, tapi hidup seperti roda yang terus berputar. Aku pernah melambung tinggi dan aku pernah terjatuh ke jurang terdalam dari inti bumi. Segalanya berjalan bertolak belakang dengan semua harapan dan impian jauh dari kenyataan. Sekarang, segala tentangmu ku cukupkan satu demi satu.

Tanganku dengan ragu mengirim sebuah pesan singkat pada kontak tanpa nama.

"Bahkan, nomornya pun masih teringat jelas di kepalaku." Gumamku pelan.

Helaan napas berat keluar dari mulutku setelah aku memastikan pesan itu benar-benar terkirim.

"Rooftop pkl 20.00, datang sendiri. Shania."

"Boby, pelet apa yang kamu kasih ke aku." Aku mengulum senyum getir.

++++


Dua orang duduk saling berhadapan, makanan di mejapun sudah habis setengahnya. Sudah gelas ke lima Vino meneguk air putih yang tersedia di meja. Pelayan harus bolak-balik karena permintaan Vino untuk terus mengisi air di gelasnya. Shani tak bersuara, matanya menunduk dan kedua tangannya sibuk memilin rok yang ia pakai. Shani bingung harus memulai dari mana untuk menjelaskan perihal kepergiannya yang tanpa kabar, juga memberikan berita bahwa ia dan Boby akan menikah.

"Ekhem." Suara deheman Vino terdengar jengah, dan Shani semakin memejamkan mata untuk mengumpulkan keberaniannya menyampaikan hal yang ia yakini membuat Vino akan marah besar.

Perlahan Shani mengangkat wajahnya dengan ragu, tangannya mengepal hingga berkeringat. Matanya enggan menatap wajah Vino yang berada di hadapannya.

"Kak, aku..." Shani membasahi bibirnya, menelan ludahnya dengan susah payah, tatapannya masih tertunduk pada meja.

Vino masih bersabar menunggu Shani melanjutkan kata-katanya, padahal ia sudah tau apa yang akan Shani sampaikan padanya.

"Aku... mau kita putus." Kata itu keluar dari mulut Shani dengan lancar, hatinya masih berdegup kencang karena Vino masih saja diam.

"Aku minta maaf kak."

Mata keduanya bertemu, Shani yang awalnya mengira Vino akan memakinya ternyata salah. Vino tersenyum begitu tulus, membalas tatapan Shani dengan begitu teduh.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang