23

1.4K 112 37
                                    

Apa yang sebenarnya kau cari dari hari ke hari? Sebuah kehidupan setelah kau mati? Siksa apa yang Tuhan beri untuk dosamu yang menumpuk ini?

Sudah hukum alam apa yang kau buat maka itu yang kau dapat. Sebuah pertanggung jawaban dari kesalahan yang tidak disengaja, itu menurut pendapatnya. Padahal waktu tidak akan kembali, meskipun kata maaf menjadi penghilang dari seutas kesalahan yang fatal.

Ribuan penyesalan datang memupuk berulah menjadi rasa berasalah yang kian dalam, rangkaian pertanyaan bersarang dalam kepala, membelenggu. Kenapa bisa dirinya sebodoh itu. Merenggut sesuatu yang berharga dari wanita yang sudah ia anggap adik. Sungguh Boby ingin hilang saja dari muka bumi ini. Ia tidak berani untuk sekedar menatap mata nanar yang penuh oleh peluh dan juga air mata.

Kadua kakinya menjuntai menyentuh dinginnya lantai, isak tangisnya mereda, tapi air matanya keluar tanpa suara. Dalam balutan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, Shani tertunduk lemah. Tangannya bergetar tiap kali menyentuh leher dan dadanya yang terasa ngilu. Dosa apa ia hingga mendapatkan kesialan yang tak kunjung henti.

Suasana kamar terasa dingin dari biasanya, tidak ada lagi tawa yang tercipta atau sekedar sapaan hangat yang membuat telinga riuh oleh suara. Sekarang hanya sunyi dalam dekap.

Bagai film yang di putar ulang, adegan demi adegan mulai memenuhi memorinya. Ingatannya jauh lebih jernih dari sebelumnya, kesadarannya mulai pulih begitu pula rasa bersalahnya yang kian hinggap menggerogotinya hingga nyeri.

Ia bersimpuh di hadapan gadis yang bertahun-tahun menemani hidupnya, merawatnya layaknya seorang ibu, mengkhawatirkannya seperti istri, dan menangisinya seperti adik. Genangan air pada bola matanya semakin menumpuk bersama rasa sesal yang datang bertubi-tubi. Ia kehilangan kata-kata, apa yang harus ia lakukan, bahkan sejuta maaf tak akan mengembalikan Shani pada keadaan seperti dulu.

Tatapan mata yang kosong menerawang jauh entah kemana, bibirnya terkatup rapat, membungkam segala perasaan takut untuk hari-hari selanjutnya. Shani hanyalah gadis polos yang ingin di cintai sama besarnya. Jika boleh, ia ingin bertukar peran sebentar saja. Boby yang mencintai dengan dalamnya, dan Shani yang mengabaikan dengan mudahnya. Adilkah?

Hampir setengah jam dengan posisi yang sama, tidak ada suara tidak ada gerakan. Keduanya larut dalam kesakitan yang semakin menjerit pada luka yang mereka ciptakan sendiri.

Tak pernah Boby setakut ini pada Shani, tangannya dengan ragu menyentuh jemari halus yang sedari tadi basah oleh tetesan air mata. Tak ada penolakan, Shani hanya diam layaknya boneka. Boby mencium kedua tangan yang di genggamnya, ia merebahkan kepalanya pada pangkuan Shani. Merebahkan segala resah dan lelah jiwanya, bahu lebarnya bergetar menahan tangis, menekan perasaannya yang sudah lancang menghancurkan masa depan dan janji yang ia buat sendiri. Tak ada usapan pada rambutnya, tak ada omelan dari mulut Shani dan tak ada perhatian yang memenuhi gendang telinganya. Semua karena dirinya.

"Shani, kak Boby akan bertanggung jawab apapun yang terjadi. Kak Boby janji." Shani masih diam dengan kebisuannya.

Boby berdiri melihat wajah cantik yang biasanya terlihat riang, kini sendu mulai datang. Di usapnya matanya yang basah, dan dibawanya tubuh lemah itu kedalam dekapannya.

"Maafin kak Boby, maaf."

Pelukan mengendur, dan tubuh lemah itu ambruk, Shani kehilangan kesadarannya.

***

Mobil mewah Sakti tidak menuju Bandara, tetapi menuju sebuah Vila di kota kembang Bandung. Dua tiket penerbangan Jakarta - Tokyo ia berikan kepada anak buahnya untuk tetap berangkat ke Jepang.

Shania hampir saja mengamuk jika Sakti tidak langsung menjelaskan alasan kenapa ia mengubah rencananya.

"Maafin aku, Shan. Aku gak maksud boongin kamu, ada sesuatu hal yang bikin aku batalin ke berangkatan kita ke Jepang."

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang