33

1.6K 132 31
                                    

Kebosananku mulai hinggap setiap harinya dengan rutintas yang sama. Bangun, kuliah, makan, tidur, belanja, main, hingga tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan. Kebetulan hari ini aku sedang ada kegiatan, waktuku seharian penuh di pakai untuk bermalas-malasan di kamar. Tingkat kejenuhan ku sudah di level tertinggi jadi ku putuskan saja untuk mencari suasana baru dengan pergi nongkrong seorang diri. Sengaja aku pergi sendirian karena jika aku mengajak kakakku atau kedua teman jahanamku yang ada aku bukan mengerjakan tugas tetapi malah sibuk bergosip ria.

Tidak butuh waktu lama aku segera bergegas menuju cafe terdekat dari rumahku. Berbeda dengan malam sebelumnya, malam ini begitu cerah di tambah dengan secangkir kopi hangat dan makanan ringan untuk menemaniku mengerjakan tugas kampus yang menumpuk. 

Cafe dengan gaya klasik ini sudah lama berdiri, tapi aku baru hari ini datang kesini, itupun karena aku malas jika harus bermacet-macetan di jalan. Aku memilih menyambangi tempat yang paling dekat saja dari sini.

Laptop dan beberapa kertas sudah berada di depanku sejak tadi. Aku sengaja mengambil tempat paling pojok dekat jendela yang langsung memperlihatkan gemerlap ibu kota. Pengunjung malam ini belum begitu ramai, masih banyak meja dan kursi kosong yang belum terisi. Hanya ada dua pasangan yang sedang berbincang dengan serunya. Aku jadi iri melihat mereka, mengingatkanku pada seseorang.

Aku kembali memfokuskan diri untuk melanjutkan kembali tugas kampusku yang belum selesai. Berkali-kali aku meregangkan otot-otokku karena pegal, pantas saja aku sudah hampir dua jam duduk dengan posisi yang sama. Saking fokusnya aku tidak menyadari jika tempat ini sudah mulai ramai oleh muda-mudi yang mendominasi. Jika sudah begini, aku jadi malas untuk mengerjakannya. Aku memilih untuk berselancar di sosial mediaku sebentar. Sama saja dunia maya juga tidak ada yang menarik satupun, hingga salah satu pengunjung datang mencuri perhatianku.

Pria berkaos putih dibalut dengan kemeja kotak-kotak warna navy dan kupluk maroon yang sangat aku kenali.

"Astaga!" Pekikku. Meski tampak samping tapi aku hapal betul wajah yang beberapa hari sempat ku temui.

"Dari sekian banyak cafe di jakarta kenapa juga dia harus kesini sih." Batinku.

Jelas kaget, dari banyaknya orang yang aku kenal kenapa pula harus bertemu dengannya. Aku langsung berpura-pura menyibukan diri, membungkukan sedikit tubuhku agar terhalang laptop yang sedang ku pakai.

Bukan karena masalah kemarin aku enggan menyapanya, aku hanya tidak ingin memancing sisi lainku yang melankolis. Aku sudah baik-baik saja tanpa dia. Tolong jangan usik lagi.

Berkali-kali aku memicingkan mata,  mengintip dari balik laptop untuk mencuri pandang ke arahnya. Wajah itu masih sama, tampan dan menawan. Sesekali aku terbuai oleh senyumnya, hingga kilatan masa lalu datang menghampiri secara perlahan. Aku masih diam terhipnotis oleh pesonanya.

Sadarku seketika menguar, menatapnya penuh luka dan juga harap akan membuatku semakin sulit untuk keluar dari bayang-bayang pria yang sudah menjadi milik orang lain. Ku ingatkan kembali hatiku, hingga batinku terus berperang antara mengabaikannya atau memandangnya tanpa tahu. Dan pada akhirnya aku menepis segala tentang Boby yang satu persatu mulai memenuhi memoriku.

Kenapa hatiku masih berdebar hanya dengan melihatnya saja, bibirku ikut tersenyum melihatnya tersenyum. Ada apa denganku ya Tuhan. Memang begitulah, semua akan lebih menggoda jika sudah menjadi mantan.

"Oke, fokus Shania! Kamu cukup berpura-pura tidak melihatnya. lanjutkan tugas dan setelah itu pulang." Dari tadi aku berbicara sendiri dengan pikiranku, mencoba menenangkan jantungku yang mulai berulah.

Baru saja aku akan menegakkan tubuhku, pria itu menghilang.

"Kemana dia?" Gumamku pelan.

Tanpa sadar aku mulai mencarinya, ku pusatkan pandanganku pada tempat terakhir aku melihatnya. Nihil, dia tidak ada disini.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang