22

1.3K 105 60
                                    

Keributan di dalam rumahku merupakan hal yang biasa, adik dan mamaku selalu saja berdebat untuk hal yang seharusnya tidak perlu di perdebatkan. Hanya karena beda pendapat atau beda pilihan maka urusannya akan panjang. Shania yang gak mau kalah, dan mama yang gak suka dibantah. Aku dan papa hanya sebagai penengah, itupun keduanya akan berakhir dengan amarah.

Seharian dirumah Kinan membuat tubuhku lelah, padahal kegiatanku cuma duduk dan makan. Baru setengah jam aku mengistirahatkan tubuhku, suara gaduh dari kamar Shania membuatku terganggu.

Shania membuka pintu kamarku dengan kasar, aku sedikit terkejut melihat dia membawa koper berukuran sedang. Aku hendak menyapanya, namun mama tiba-tiba datang dibelakang Shania dengan wajah kesalnya.

"Kak, Ve. Bilangin mama gak usah bawel, aku udah gede gak perlu ngomong panjang lebar nitipin aku ke Sakti kayak anak TK mau pergi.

"Loh, niat mama baik biar kamu gak malu-maluin disana. Jaga sikap, jangan ngeyel kalo di kasih tau." Mama duduk di tepi ranjangku, dengan tatapan yang masih mengarah ke Shania.

"Iya, aku tau. Gak usah mama bilangin juga shania ngerti."

"Tuh kan, adik kamu kalo dikasih tau malah marah."

"Mama yang duluan ngomongnya ngegas."

"Udah-udah, aku gak ngerti kalian ngomong apa." Aku mencoba menghentikan pertikaian ini, karena kalo masih berlanjut maka sudah di pastikan kamarku yang akan jadi sasarannya.

"Shan, kamu mau kemana kok bawa koper segala?" Tanyaku dengan lembut, aku takut kalau Shania kabur karena mama.

"Aku mau liburan dong, mau ke jepang cuma empat hari kok. Kak ve mau oleh-oleh apa?"

"Kok Mama gak ditawarin?" Mama tidak terima karena Shania hanya menawariku. Mama kadang suka cemburuan. Persis seperti aku.

"Nggak. Mama bawel." Jawab Shania galak.

"Oh gitu, yaudah mama gak izinin kamu pergi."

"Becanda ma, nanti aku beliin yang banyak. Hehe."

Aku menatap ke arah Shania, mencairkan ke khawatiran dalam hatiku. "Dadakan? Biasanya kamu cerita ke kakak kalo mau pergi."

"Maaf, orang yang ngajaknya dadakan kak. Dia ngasih tiketnya kemaren malam."

"Pergi sama siapa?" Tanyaku yang langsung di jawab oleh mama.

"Sama pacar barunya, namanya Sakti. Ini yang bayarin dia semua loh, Ve."

Sontak aku menoleh ke arah mama yang duduk di sebelahku, menuntut jawaban yang lebih jelas. Aku tidak mau Shania pergi dengan sembarang orang. Badan dia memang lebih besar ketimbang aku, tetapi tingkahnya masih kekanakan membuatku khawatir jika pergi sendirian.

"Sakti siapa, ma? Mama udah ketemu orangnya?"

Mama mengangguk sesekali tersenyum penuh arti.

"Bukan pacar ih, mama tuh ngarang aja. Dia temen aku, kak. Temen kampus."

"Mana ada temen ngajak liburan bareng keluarganya, di bayarin pula. Gak apa-apa kali mama gak masalah kamu sama dia. Biar calon menantu mama tajir-tajir. Ya termasuk Kinan, meskipun tajiran Sakti kayaknya."

Aku dan Shania kompak melotot ke arah mama, bisa-bisanya ngomong kayak gitu.

"Kenapa kalian liatin mama? Harusnya kalian itu aminin. Udah ah mama mau nunggu Sakti di bawah."

Mama pergi meninggalkan aku dan Shania yang masih betah dengan kopernya. Tanpa ku ulangi pertanyaanku, Shania sudah mengerti apa yang harus di jelaskan mengenai kepergiannya yang mendadak.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang