20

1.4K 124 34
                                    

Flashback on.

"Shania bukan lagi milik lo, berhenti seolah-olah dia masih cewek lo dan jangan bertingkah seperti jagoan. Menyedihkan!"

"Lo hanya pelarian jadi gak usah kepedean Shania mau sama lo."

"Oya? Gue gak masalah sih dijadikan pelarian atau pelampiasan. Seenggaknya Shania sekarang menjadi milik gue."

"Berani lo sentuh Shania, gue bakal patahin tangan lo."

"Aaah gue lupa lo jagoan kampus. Tapi gue lebih jago membuat orang menderita. Shania adalah kelemahan lo, semakin lo nyerang gue semakin gue buat Shania jauh dari lo."

"Shit, anjing. Jangan macam-macam sama gue."

"Salah, lo yang gak boleh macam-macam sama gue. Karena gue bisa ngabisin lo dengan sekali siulan."

Cekikan pada lehernya mengendur melihat banyak mobil datang mengelilingi mereka, pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam turun dari empat honda civic. Sekitar 16 bodyguardnya siap menyerang, dan Boby meyakini mereka semua membawa pistol atau pisau. Bukan lawan yang berat sebenarnya, tapi orang ini licik. Mau sekuat apapun ia melawan, pada ujungnya ia akan kalah oleh kekuatan uang.

"Harusnya lo pake rok aja kalo bisanya keroyokan."

Boby meludahi muka anak manja itu, kemudian pergi dengan tangan yang ia angkat seolah takut jika yang dihadapannya adalah polisi yang akan meringkusnya.

Flashback off.

Boby menelungsupkan wajahnya dengan lesu. Setiap pagi terasa dingin tapi hatinya begitu panas, ia belum tidur dari semalam. Bayangan Shania membuatnya sulit untuk memejamkan mata.

Suara langkah kaki berhenti di depan mejanya, wangi parfum menyengat memenuhi ruangan kamarnya yang sempit. Boby tidak berniat untuk melihat siapa yang datang, ia sudah tau siapa lagi kalo bukan Shani.

"Kak Boby, bangun. Hari ini ada latihan loh. Kemaren aku di cegat sama kak Nara gara-gara kak Boby gak latihan terus."

Boby tak menjawab, ia pura-pura tertidur agar Shani tak mengganggunya.

"Kak Boby! Bangun dulu aku mau cerita penting loh soal kak Shania." Boby langsung menegakkan tubuhnya. Matanya yang merah karena kantuk memaksa untuk terbuka sempurna.

Shani duduk di tepi ranjang yang menghadap langsung ke meja. Shani mengambil jeda untuk bicara ia memberanikan diri menatap mata pria yang sudah lama sangat ia kagumi, tangannya meremas kuat rok yang ia pakai.

"Aku gak suka lihat kak Boby sedih terus, tiap hari kerjaannya cuma bengong, duduk berjam-jam, berdiam diri lupa waktu. Aku kayak hidup sama orang asing." Shani membuang mukanya, tidak tahan melihat wajah Boby yang tidak terurus.

"Aku sayang sama kak Boby, tapi kak Boby sayangnya sama kak Shania. Aku bisa apa? Aku cukup dewasa menentukan ke arah mana bahagiaku bermuara. Cinta ngga bisa di paksain, bertahun-tahun aku jatuh cinta sendirian, menahan sesak ketika kak Boby memeluk wanita lain, tapi aku tidak punya hak untuk marah. Aku sakit ngeliat kak Boby terluka. Rasanya aku pengen nangis tiap kali kak Boby pulang dengan tubuh penuh lebam."

Kedua tangan halusnya ikut menyeka air mata yang turun dari sudut matanya, ini pertama kalinya Shani mengungkapkan isi hati yang sebenarnya di hadapan Boby.

"Aku bakal tetap cinta sama kak Boby meskipun kak Boby gak pernah lihat aku. Secepatnya aku bakal jelasin ke kak Shania tentang kita waktu itu, kalo semua hanya salah paham."

Senyum Shani mengiris hati, mungkin dengan pelukan yang Boby beri, membuat suasana hatinya membaik. Boby memeluk Shani, membawa tubuh ramping itu ke dalam dekapannya.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang