Dua puluh menit berlalu, kakinya masih tegap berdiri di depan pintu kaca. Tangannya kadang mengepal, kadang menggedor pelan tiap kali matanya menyaksikan bagaimana orang yang sangat ia cintai merintih kesakitan.
"Kinan.." Tepukan pada lengannya membuat pria itu menoleh dengan wajah cemasnya.
"Eh, iya tante."
"Duduk sini, kamu pasti capek berdiri terus." Viona menggeser kursi kosong di sampingnya.
"Aku gak tega liat Ve, tan."
Viona tersenyum mendengarnya, hatinya bersyukur di kelilingi orang-orang yang peduli dengan keluarganya. Tidak ada seorang ibu yang rela anaknya terus menjerit sakit, ibu mana yang membiarkan anaknya hidup dalam kesedihan. Viona mencoba tegar, air matanya kerap memaksa keluar dari sudut netra, dirinya harus pergi menjauh meredam suara tangisnya setiap kali putrinya terjatuh dan berteriak pilu.
"Ve anak yang kuat, dia tau caranya untuk sembuh, dia bukan anak yang lemah. Semoga cepat bisa berjalan lagi ya."
"Amin, tan." Kinan menjatuhkan badannya pada kursi kosong. Menyandarkan kepalanya pada pinggiran tembok, lagi lagi matanya tidak pernah lepas dari Veranda.
Keringat sudah mengucur deras dari pelipisnya, baju rumah sakit berwarna biru itu sudah mulai lengket di badannya. Padahal ia hanya melakukan terapi untuk berdiri saja tetapi rasanya begitu ngilu, sudah berapa puluh kali terjatuh tapi tekadnya semakin kuat untuk sembuh. Rintihan dan juga teriakan kadang keluar dari mulutnya, sakit, kesal dan kadang marah pada dirinya sendiri.
"Kita coba sekali lagi ya, pelan-pelan aja." Therapist kembali memberikan arahannya.
"Argh!." Veranda kembali duduk di kursinya, kakinya belum cukup kuat untuk sekedar berdiri.
Helaan nafas untuk kesekian kalinya, Kinan masih saja memandangi tubuh ringkih itu. Rasanya ia ingin berdiri di sampingnya, menggantikan sakitnya dengan tawa. Was-was jelas terlihat, lantas apa yang bisa Kinan lakukan untuk membuat hatinya sedikit tenang melihat Veranda yang jatuh berulang-ulang.
Selesai sudah sesi pertama Veranda menjalankan terapinya, tentu belum ada kemajuan karena ini baru langkah awal. Badannya terasa letih dan kakinya terasa sakit, Veranda ingin segera pulang dan merebahkan dirinya di kasur yang nyaman.
"Sayang, ada yang sakit?" Tanya Viona khawatir.
"Belum kerasa apa-apa sih ma." Veranda berbohong, melihat wajah lelah dan cemas mamanya ia jadi tidak tega untuk mengeluh. Mungkin nanti ia akan menumpahkan segala yang ia rasa pada Kinan.
Kinan berjalan masuk dari arah lobby rumah sakit dengan sedikit tergesa-gesa. Kemudian ia berjongkok menyamakan posisinya dengan Veranda. Di tatapnya wanita tangguh di hadapannya ini. Tangannya mengusap wajah pucat Veranda. Hatinya mencelos melihat mata kuyu dan tubuh lemahnya.
"Capek ya? Mau makan dulu apa langsung pulang?"
"Pulang aja ya, makan dirumah aja, aku pengen tiduran."
Kinan mengangguk, kemudian mendorong kursi rodanya hingga tiba di depan mobilnya.
"Ayo. Hufffhhh." Kinan mengangkat Veranda dengan hati-hati, duduk di kursi depan bersama dirinya, sedangkan mamanya duduk di kursi balakang. Viona terharu melihat kedua anaknya, ia merasa lega ada Kinan yang mencintai putrinya dengan tulus.
Mobil audi Kinan melaju membelah jalanan Jakarta yang ramai. Tidak ada obrolan sama sekali, Kinan fokus dengan kemudinya dan Viona sibuk menjawab telepon dari suaminya.
"Udah sampai." Kinan meregangkan otot-ototnya, lalu beralih ke Veranda yang sedang tertidur pulas.
"Tante, Ve tidur. Aku langsung bawa ke atas aja ya. Kasian kayaknya dia kecapean."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralyzed (END)
FanfictionTuhan memberikan sentuhan keajaiban pada sosok gadis bernama Veranda. Dan bagaimana takdir mempermainkan Shania adik dari Veranda yang keduanya mencintai orang yang sama. Lika-liku kehidupan dan hubungan percintaan anak manusia di uji dengan sebuah...