12

1.4K 106 18
                                    

Di ruang makan keluarga Edwin dan Viona pagi ini sedang berlangsung perang mulut antara ibu dan anak, siapa lagi kalo bukan Viona dan Shania. Viona memarahi habis-habisan anak bungsunya yang lalai menjaga kakaknya, Shania yang tidak terima membuat acara sarapan mereka harus terhenti.

"Mama udah bilang, jangan sampai kakak kamu kenapa-napa. Liat sekarang tangan kakak kamu."

"Ma, udah ma." Veranda ikut menengahi tetapi keduanya tidak menghiraukan keberadaanya. Viona terus meninggikan suaranya dan Shania terus membantahnya.

"Mama nyalahin aku? Aku juga gak bakal pergi kalo mama gak nyuruh belanja."

"Berani kamu sama mama? Aku ini mama kamu!"

"Mama yang terus-terusan nyalahin aku dari tadi."

"Kakak kamu itu sedang sakit Shania, mama nyuruh kamu dari pagi biar gak kejebak macet dan gak terlalu rame. Supaya kamu bisa cepat pulang kerumah."

"Terus aja salahin aku, kenapa gak mama aja sih yang belanja."

"SHANIAAA!!!" Viona berdiri dari kursinya, ia berteriak kesal karena anaknya yang terus membantahnya.

"Apa?" Shania ikut berdiri dengan napas kasar yang terdengar gemetar. Tangannya mengepal kuat menahan letupan amarah, Shania benci dirinya selalu di salahkan.

"STOP!" Hentakan keras di meja menghentikan pertikaian pagi ini. Edwin yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara.

"Kalian ini pagi-pagi sudah ribut saja, malu sama tetangga. Shania, duduk." Shania tak menggubris perintah papanya, matanya tajam menusuk retina.

"Prang!" Shania melempar piring ke lantai, kemudian pergi begitu saja menuju kamar.

"Anak itu benar-benar kurang ajar." Viona semakin tersulut amarah.

"Ma, udah ma. Ini bukan salah Shania, Ve yang salah." Veranda menarik lengan Viona untuk kembali duduk di sampingnya. Viona memeluk anak sulungnya, meredam emosi yang sedari tadi menguasai. Viona tidak sanggup jika terjadi sesuatu lagi pada Veranda. Cukup luka di kakinya saja, jangan seluruh tubuhnya.

"Maafin mama ya sayang, tangan kamu jadi kayak gini." Usapan lembut mamanya terasa hangat di hati Veranda. Veranda terenyuh namun juga sedih karena dirinya, Shania jadi ikut di salahkan.

"Gak, ma. Ini Ve yang salah, kemarin Ve gak hati-hati." Veranda berusaha meyakinkan. Memang benar semua yang terjadi adalah salahnya bukan Shania namun kedua orang tuanya selalu melihat Shania dari kacamata yang berbeda.

"Jangan kayak gini lagi ya, besok mama cariin kamu asisten buat bantuin dan siapain keperluan kamu 24 jam. Mama gak mau sampai kamu kenapa-napa lagi."

"Gak usah, ma. Ve bisa kok, jangan bikin Ve ngerasa gak berguna."

"Gak, sayang. Bukan maksud mama kayak gitu, mama cuma pengen ada orang yang jagain kamu."

"Tapi ma..."

"Mama gak suka di bantah, udah ya, ayo lanjutin makannya. Mama suapin ya?" Veranda menggelengkan kepalanya, ia mampu dan tidak mau merepotkan keluarganya. Veranda benci saat semua orang melihatnya sebagai manusia lemah yang tak bisa berbuat apa-apa.

Edwin diam memperhatikan keduanya, lalu beranjak pergi ke kamar anak bungsunya.

"Papa ke kamar Shania dulu."

"Bi, tolong di beresin, takut ke injak." Edwin menyuruh pembantunya untuk segera membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai rumahnya.

"Baik, pak."

"Sayang, ini papa nak. Buka pintunya." Shania enggan untuk menjawab, semua orang di rumahnya selalu menyudutkannya. Shania benci semua yang di lakukannya selalu salah, termasuk papanya.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang