24

1.5K 143 85
                                    

Musik baru saja berhenti tepat pukul 03:30, Shania sudah tidak bisa menahan kantuknya. Ia tidak meminum-minuman beralkohol karena selalu ingat pesan sang papa, meskipun Sakti memaksanya, Shania tetap tidak mau. Sakti dan Shania akhirnya tertidur di kamar atas, sebagian orang juga memilih tidur di Villa ini karena mabuk dan juga kantuk.

Shania sibuk berjoged hingga larut, mungkin karena peraturan dalam keluarganya yang tidak boleh pulang hingga pagi, maka ketika ada kesempatan Shania seperti singa yang lepas dari kandangnya.

Dua anak cucu adam itu tertidur saling mendekap memberi kehangatan dan kenyamanan pada tubuh yang sama lelahnya. Dengkuran halus dengan nafas teratur terdengar. Shania dengan pulas tidur dalam balutan jas hitam milik Sakti, dress putihnya pun masih menempel lengkap di tubuhnya. Begitupun dengan Sakti ia hanya menggunakan kemeja putih yang kancingnya ia biarkan terbuka. Wajah keduanya terlihat kelelahan, terbukti dari banyaknya telepon yang masuk ke handphone Sakti maupun Shania, tidak membuat tidur lelap mereka terganggu.

Di lain tempat Kinan sedang berada di pesawat untuk kembali ke Jakarta, matanya enggan terpejam padahal ini sudah dini hari. Pikirannya sibuk kesana kemari, hingga makan saja ia lupa. Telepon yang tak kunjung henti dari orang tuanya dan banyaknya pesan dari Veranda yang belum sempat ia buka, membuat semua orang khawatir saja. Kinan super sibuk hari ini, bahkan setelah mendapatkan laporan terakhir dari anak buahnya Kinan kembali terjaga. Ia ingin secepatnya sampai, membawa adik iparnya kembali kerumah dengan selamat.

"Mas, mas Kinan istirahat dulu. Sudah pukul lima pagi mas Kinan belum sedikitpun memejamkan mata. Mas Kinan juga belum makan. Saya ambilkan sarapan ya, mas?"

"Nggak perlu, Ron. Aku gak nafsu makan, aku cuma pengen cepet sampai di Villa bajingan itu."

"Empat jam lagi sampai mas, kita langsung menuju Villanya yang di Bandung. Semoga Shania masih disana. Saya sudah perintahkan orang untuk mengawasi Vila itu."

"Good, kau istirahatlah Ron. Sebentar lagi aku juga akan tidur."

"Iya, mas."

Dalam kegelisahannya, akhirnya Kinan memejamkan matanya.

Sejak semalam perasaannya tidak karuan, entah apa yang Veranda khawatirkan. Perkiraannya Shania tiba di Tokyo pukul 02:15 waktu Indonesia, ia ingin memastikan adiknya selamat sampai tujuan. Banyaknya chat yang ia kirimkan hingga panggilan keluar tak kunjung mendapat jawaban. Begitupun dengan Kinan, Veranda sudah berkali-kali menghubunginya tapi sama sekali tak ada balasan. Tidak mungkin meeting selama itu, Kinan tidak seperti biasanya ketika Veranda mengirimkan pesan atau telepon kepadanya, Kinan tidak akan membuatnya menunggu. Keduanya membuat hati Veranda jadi tidak tenang.

Terlintas di pikirannya, apakah Kinan dan Shania pergi bersama? Tapi tidak mungkin, karena sudah jelas Shania pergi dengan Sakti. Bayangan masa lalu kembali teringat, Shania tidak akan merebut Kinan, ia percaya keduanya. Veranda berusaha menepis semua yang mengotori otaknya, ia yakin semuanya akan terkendali. Kinan hanya sedang sibuk, lagi pula pria itu sudah janji untuk menemaninya terapi hari ini.

Alarm dari handphonenya berdering, Veranda melihat jam yang tertera pada layar ponselnya, sudah pukul tujuh pagi tetapi tidak satupun notifikasi yang masuk ke ponselnya. Hampir setiap dua puluh menit sekali Veranda melakukan panggilan kepada kedua orang yang sangat ia sayangi itu, namun jawabannya masih sama hanya suara operator yang terdengar.

Dua jam berlalu, bahkan buku ditangannya sudah berkali-kali ganti halaman. Handphone yang selalu ia genggam akhirnya berdering, senyumnya terlihat, membuat perasaannya sedikit lega.

"Kemana aja sih kamu, jangan bikin aku khawatir."

Perhatian dalam bentuk bentakan, Veranda tidak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya terhadap Kinan. Mendengar suara galak Veranda, Kinan hanya meringis.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang