Keramaian adalah tempatnya bersandiwara, tubuhnya ikut berbaur namun hatinya masih saja sepi. Kemana lagi Boby harus menghibur diri? Ia hanya butuh sesuatu untuk mengalihkan rasa sakitnya. Mungkin buku adalah salah satu pelampiasannya.
Siang ini Boby sedang mencari buku yang kemarin tidak sempat di beli. Namun sebelum menuju toko buku, langkahnya terhenti di sebuah gerai makanan cepat saji. Ia membeli dua porsi burger, tentu saja dengan banyak promo yang ia punya. Lumayan kan untuk kantong mahasiswa, bisa hemat untuk makan apalagi hidup jauh dari orang tua.
Selesai dengan antrian yang lumayan panjang, Boby kembali menuju toko buku. Baru saja kakinya melangkah masuk, ia melihat seorang anak perempuan sedang menangis tersedu-sedu. Banyak orang berlalu lalang namun tak satupun yang berhenti sekedar bertanya kenapa.
Boby berjalan mendekati bocah lima tahun tersebut, memaksa senyumnya agar terlihat lebih tulus. Image yang bertahun-tahun melekat pada dirinya hilang dalam sekali kedipan.
"Adek, kenapa nangis?" Boby berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anak itu. Lantas tangannya terulur mengusap pipi gembul yang basah oleh air mata.
"Jangan nangis, ya. Mama papa kamu dimana? Biar kakak anterin." Bukannya menjawab, bocah berambut panjang itu malah semakin menangis.
"Aduh, mampus gue." Boby menghembuskan napas kasar. Suara tangisnya terus terdengar, hingga beberapa orang menatapnya penuh curiga. Boby mulai panik, ia tidak mau dituduh sebagai penculik. Biarpun penampilannya jauh dari kata baik, Boby tetaplah seorang pria yang punya hati nurani.
Hampir lima menit Boby berada di posisi yang sama, akhirnya ia menyerah. Senyum tulusnya tak berhasil membuat tangis bocah itu berhenti. Sejenak Boby memejamkan matanya, mencoba berpikir lebih keras.
"Adek, adek mau ini?" Boby menyodorkan burger yang baru saja ia beli. Awalnya si anak tidak mau, namun dengan segala jurus yang Boby punya akhirnya si anakpun mengangguk dan tangisnya mulai mereda. Boby membuka burger tersebut dengan sedikit tidak rela, pasalnya ia juga belum makan tapi karena anak ini lebih penting jadi Boby mengikhlaskannya.
Seperti halnya seorang kakak, Boby menyuapi bocah gempal itu dengan telaten. Mungkin untuk orang yang tidak tau, mereka akan menyangka jika mereka adalah kakak beradik.
"Nama kamu siapa?" Tanya Boby dengan wajah yang ia buat selucu mungkin.
"Chika." Jawabnya singkat.
"Chika, makannya pelan-pelan nanti kamu keselek loh. Tenang aja burgernya masih ada kok. Nih.." Boby memperlihatnya satu kantong kresek lagi yang berisi burger. Niatnya untuk ia makan di rumah tapi datang musibah, yasudah.
"Buat chika?" Tanya anak kecil itu dengan logatnya yang menggemaskan. Boby mengangguk pelan.
"Nih di pegang buat nanti kalo Chika laper lagi. Sekarang kamu makan satu aja dulu ya." Chika kembali mengangguk patuh. Bibir mungilnya penuh dengan makanan, kepalanya bergoyang-goyang seirama dengan kaki yang ia ayunkan dengan sengaja.
"Mama sama papa kamu mana?" Boby menoleh kesana kemari tapi tidak terlihat satupun orang yang menghampirinya.
"Nggak tau. Chika kesini sama tante." Jawaban yang membuat Boby tak tahan untuk tidak mencubit pipinya. Dengan sabar Boby menunggu Chika hingga selesai makan, baru setelah itu Boby akan membawa anak itu ke bagian informasi.
Sembari menunggu Chika makan, Boby dengan gemas mengikat rambut panjang anak itu. Tawa Chika terlihat dari bibir mungilnya kala Boby memberi tebak-tebakan yang menurutnya lucu. Tanpa di sadari ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan mereka. Shania seketika jatuh cinta pada pesona Boby yang begitu lembut. Sejenak Shania menikmati senyum Boby yang begitu hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralyzed (END)
FanfictionTuhan memberikan sentuhan keajaiban pada sosok gadis bernama Veranda. Dan bagaimana takdir mempermainkan Shania adik dari Veranda yang keduanya mencintai orang yang sama. Lika-liku kehidupan dan hubungan percintaan anak manusia di uji dengan sebuah...