28

1.7K 140 28
                                    

Dalam beberapa kasus, bunuh diri di sebabkan oleh depresi. Banyak hal yang membuat seseorang memutuskan mengakhiri hidupnya. Pikirannya buntu entah karena dunia tidak lagi berpihak padanya atau karena tak ada lagi orang yang benar-benar peduli terhadap masalah yang sedang mereka pikul.

Beberapa waktu lalu Veranda menemukan adiknya tidak keluar kamar sama sekali, untungnya kedua orang tuanya sedang berada dirumah dan Shania tergeletak dengan pergelangan tangan penuh darah. Entah apa yang sudah adiknya lakukan, yang jelas saat ini Veranda sangat takut jika hal itu terulang kembali. Ia memutuskan untuk kembali ke kampus menemani adiknya, setidaknya ia bisa mencegah Shania melakukan hal bodoh itu lagi.

Kedua orang tuanya jelas tak menyangka, sang papa sampai tidak masuk kantor untuk mengawasi kedua putrinya tersebut, dan lagi-lagi Veranda harus berbohong soal Shania, ia yakin penyebabnya karena Boby. Shania adalah anak yang pintar tapi kadang emosinya mudah meledak, ketika amarah memuncak maka ia bisa merusak apapun untuk melampiaskannya dan seketika kecerdasannya ikut menghilang.

Siang ini Shania dan juga Veranda sedang menuju kampus, entah respon seperti apa yang akan teman-teman Veranda berikan mengingat dirinya sudah tak sesempurna dulu, yang ia pedulikan adalah adiknya. Veranda adalah kebalikan dari Shania, rasa percaya dirinya gampang retak hanya karena tatapan tajam atau perkataan orang lain yang menurutnya sangat menusuk.

"Shan, kamu mikirin apa? Tangannya masih sakit?" Veranda menyentuh lembut lengan Shania. Telapak tangannya masih di balut perban tipis. Lukanya tidak begitu dalam hanya goresan kaca tapi mampu membuat siapapun meringis dan Shania tidak merasakan sakit sedikitpun, ia seolah mati rasa.

"Hmm." Shania menjawab dengan setengah melamun, ia mendengarkan namun tatapannya kosong menembus jendela mobil.

"Shan, jangan kayak gini, jangan bikin kakak takut." Shania tidak merespon ucapan sang kakak, ia hanya diam seperti memikirkan banyak hal.

Veranda memeluk adiknya menyandarkan kepalanya pada bahu ringkih yang dulu terlihat segar dan tegap. Shania yang terkenal galak, disiplin dan juga begitu riang kini seolah lumpuh. Benar, Shania yang angkuh sekarang terlihat rapuh.

"Non Ve, saya sudah telepon mas Kinan untuk menemani non Veranda, non Shania biar mang Adi yang antar."

"Gak usah mang, saya udah minta Gaby dan Sendy untuk menemani Shania."

"Baik Non."

Mobil mewah dengan warna biru gelap itu sudah sampai di parkiran kampus. Veranda turun lebih dulu dengan di bantu mang Adi, sedangkan Shania masih tak bergeming dari tempatnya, sampai mang Adi membuka pintupun Shania masih diam dengan tatapan yang nanar.

"Non Shania, udah sampai, non." Suara berat mang Adi hanya membuat Shania menoleh.

"Shania udah nyampe kampus, turun yuk." Ajak Veranda dengan nada yang begitu halus.

Shania menoleh ke arah Veranda yang sedikit terhalang oleh mang Adi kemudian ia mengangguk dan turun dari mobilnya. Beberapa pasang mata langsung tertuju pada Veranda yang sekarang di dorong mang Adi menggunakan kursi roda. Sedangkan Shania berjalan di depan mereka yang di sambut oleh kedua temannya.

Bisik-bisik mulai terdengar, ada yang menatapnya kasian ada juga sebagian kaum iri dengki yang bersyukur atas lengsernya primadona kampus ini. Veranda mulai tidak nyaman, biasanya Shania yang akan melindunginya tetapi kali ini dia yang harus melindungi adiknya. Mang Adi yang melihat hanya menggelengkan kepalanya melihat kelakuan manusia yang katanya berpendidikan itu.

Gaby dan Sendy sudah menunggu kedatangan Shania dan juga kakak dari sahabatnya. Senyum dan pelukan hangat dari Gaby dan Sendy membuat sedikit ketakutan Veranda menguar.

Paralyzed (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang