"Lu pada lihat Arif, nggak?"
"Tadi sih ke ruangan kepsek, kayaknya langsung pulang."
"Bujug.. gua ditinggal.." cowok berseragam kusut itu mengacak rambut kasar, melempar senyum pada kawannya di depan gerbang sekolah, mengajak high five. "Cabut duluan gih, gue mau nyari tuh anak dulu."
"Gal, nih maap-maap, bukan maksud gue sok ngatur, tapi kalo mau ngajak Arif buat ngelawan sekolah sebelah, mending lo cari kroni lain aja. Nggak kasihan apa lu, udah bapak sama adeknya nggak ada, pulang-pulang malah babak belur. Belom lagi kalo ketangkep polisi, lo sih belom tentu tanggung jawab, Gal. Secara bapak lu pasti cuma mau ngejamin dan bebasin lu doang."
Tumben Hamzah bicara panjang lebar sebelum menaik pitamkan Galih, diakhiri melarikan motornya buru-buru ke jalan raya sebelum dijawab oleh si ketua angkatan. Sial, padahal Galih keburu ngebet ingin menghajar lelaki yang sudah menggoda gebetan satu-satunya di sekolah kejuruan berdominasi kaum adam ini, ia pun berencana menghabisi lelaki itu ditemani Arif.
Wajah boleh disangka pemain senar hati wanita, namun Galih Pratama jauh lebih dikenal sebagai biang tawuran berprestasi. Mengapa? Otak encer remaja itu sudah dua kali didapuk menjadi ketua angkatan dalam dua semester di kelas sebelas, wakil ketua OSIS, sekaligus langganan peringkat sepuluh besar di kelas. Berapa kali Galih mencoba membuat onar di jalan raya, betah diamankan aparat gabungan meski tak sampai tinggal di balik jeruji besi atas perintah kuasa sang ayah, tetap saja perubahan belum mau menerangi kehidupan si penyuka mie ayam itu.
Terpaksa, berhubung skenario penganiayaan gagal, sepasang kaki Galih melangkah ringan, membawanya duduk di halte depan sekolah, menunggu bus umum mengantarkannya pulang ke rumah.
Malas mengendarai motor atau mobil, Galih jadi terbiasa mengikuti alur hidup sederhana Arif, walau di rumah sendiri pun ia tak tahu harus melakukan apa selain makan, menonton film, dan push rank.
Adzan maghrib berkumandang, Galih memutuskan untuk turun dari bus setelah sepuluh menit perjalanan, demi menunaikan shalat di sebuah mushala restoran langganan keluarga.
Usai berdzikir dan berdoa, Galih kemudian membenahi seragamnya yang agak kotor, kala tersadar tengah diperhatikan oleh seseorang saat ia sedang memakai sepatu.
"Galih?" Sapa seorang wanita berpakaian kasual, namun hampir sukses membuat Galih beristighfar saking cantiknya.
"H-hah? Iya, saya sendiri. Tante siapa?" Sahut Galih terkejut. Tanpa tedeng aling-aling, wanita itu malah mengulas senyum, berjalan mendahului Galih ke bagian outdoor restoran seolah meminta Galih agar menurut.
Benar saja, dilanda penasaran, Galih duduk berseberangan dengan wanita itu. Tak lupa, seorang server meletakkan segelas milkshake cokelat ke atas meja. Tangan kanan wanita itu lalu terulur, mempersilakan Galih melepas dahaga sehabis shalat.
Mau ditolak, sayang. Diterima, takut beracun. Tapi dasar tipe anak sekolah ogah rugi, Galih merasa bahwa ini merupakan nikmat Allah yang tak patut didustakan. Jadilah, Galih mengangguk dan menyedot isi gelas itu sepertiganya.
"Kamu cari Arif?"
Strike two. "Arif? Tante kenal Arif? Kok Tante bisa tahu? Tante juga tahu nama saya pula. I-ini kenapa sih? Maksudnya gimana?"
"Saya Shafira, Tante Shafira, pemilik restoran ini. Kamu nggak usah kenalin diri lagi, saya udah hafal kedatangan kamu dan papa mamamu setiap Jumat malam."
Si tante menganggukkan kepala Galih pelan, ketika isi otaknya sibuk mencerna.
"Arif baru aja pulang ke rumah, tadi habis interview kerja di sini." Jelas Tante Shafira, berhasil membuat Galih tersedak.
"K-kerja? Arif ngapain kerja di sini?!" Pekik Galih tak percaya.
Sesulit itukah keadaan ekonomi keluarga Arif? Seringkali Galih mentraktir Arif di sekolah, atau menggabungkan pembayaran uang kas kelas, kalau sampai Arif bekerja, Galih menduga pasti si sobat karib sedang butuh pengeluaran ekstra di luar nalar.
Biaya kuliah, misalnya? Ah! Sedetik kemudian, telapak tangan putih itu menepuk jidat. Ya, Galih baru ingat curahan hati Arif beberapa waktu lalu soal biaya SPP dan ujian praktek.
Ampun DJ... kurang baik apa kesetia kawanan Arif terhadap Galih? Kok tega sekali Galih membiarkan Arif menghadapi semua sendiri?
"Tenang, nggak usah salahin dirimu, Gal. Pekerjaan Arif ringan kok, cuma membantu di event tertentu aja, nggak bakal ganggu sekolah karena cuma di hari Sabtu sama Minggu. Tante jamin, gaji dua bulan di sini, cukup buat bayar biaya sekolahnya sampai lulus. Jadi, kamu nggak khawatir lagi." Tante Shafira menggenggam erat tangan Galih, mengetahui wajah sesal itu tertunduk letih.
"Terima kasih udah bantu Arif, Tante."
"Sama-sama, Gal. Ngomong-ngomong, kamu mau langsung pulang?"
"Kayaknya sih begitu, Tan." Galih mengujar lembut, berbanding 180 derajat waktu mencari keberadaan Arif lewat Hamzah, layaknya ingin memakan orang. "Terima kasih minumannya, Tante. Saya habisin, ya?"
"Silakan, mau tambah makan juga boleh, gratis."
Duh Gusti, niat mau memasukkan orang ke rumah sakit malah berubah mendapatkan titik terang, minuman lezat, dan kebaikan dewi fortuna. Galih berharap, semoga nanti malam ia bisa bermimpi menikahi Hailee Steinfeld.
"Nggak usah repot-repot, Tante. Ini aja udah enak kok, hehe.."
"Bagus. Oh ya, daripada kamu bengong di rumah kalau weekend, nggak ada yang bisa diajak main, gimana kalau kamu ikut kerja aja sama Arif?"
Sebentar. Penawaran langka macam apa? Haruskah Galih jungkir balik kegirangan di tempat?
"Beneran, Tante??"
Ahh.. tapi kalo Bo-Nyok tahu, gue bisa digibeng. Dikira fasilitas kurang lah, nyari kegiatan nggak berfaedah, males juga..
"Kapan Tante ngibulin anak SMA ganteng kayak kamu? Untung pun nggak." Tante Shafira tertawa kecil, mengusir halus seruan Galih yang mirip pemenang undian berhadiah mobil.
Jangan tanyakan kondisi perasaan Galih, tertampar bolak-balik, terurai kabut sutera dipuji wanita secantik Tante Shafira.
"Khawatirin orang tua? Nggak perlu, Galih, mereka sayang banget sama kamu. Selama masih dalam batas wajar, kamu bebas ngapain aja, bukannya yang ada malah bangga bisa cari uang tambahan sendiri? Kapan lagi bersikap mandiri di luar keterampilan teknikmu itu? Eh, kamu kelas 12 juga, kan, bareng Arif? Terakhir kali kalian praktek kerja industri berarti tahun lalu, dong?"
"Bener banget, Tante." Mulai dirasa akrab, Galih menepuk tangan sekali. "Tapi, saya nggak enak ngerepotin Tante. Apa pegawai Tante kurang banyak sampai mau ngerekrut saya segala? Kalau cuma soal Arif, saya nggak usah ikut campur pun nggak masalah kok, Tante. Yang penting, dia nggak putus sekolah."
"Justru, katering Tante lagi berkembang dan sibuk-sibuknya dapet pesenan sana sini, emang kamu nggak tahu kalau sekarang lagi musim kawin?" Sahut Tante Shafira sembari menyodorkan selembar kartu namanya kepada Galih. "Bawa aja dulu, kalau cocok, Sabtu besok ke sini aja temui saya, oke?"
Diperhatikannya kartu nama itu lekat-lekat, memang tidak mencurigakan, meski menerbitkan sebuah tanda tanya besar di benak Galih.
Kapan lagi punya bos cewek cakep, Ya Allah.. emang dah udah bener gue jadi anak berbakti sama orang tua dari bayi!
"Sekali lagi, terima kasih banyak, Tante. Tante udah baik banget sama saya dan Arif, semoga kinerja kita nanti nggak mengecewakan Tante." Galih menjabat tangan Tante Shafira, menandakan pertemuan mereka akan segera selesai.
Sebuah sunglasses berpendar kekuningan terpasang menghiasi mata Tante Shafira, ketika mereka berdua berdiri menghadap masing-masing.
"Galih, Tante tahu kamu anaknya baik. So, daripada buang tenaga buat hal nggak penting yang malah merusak moral anak bangsa seperti berantem rebutan cewek atau tawuran, kamu bisa salurkan itu untuk sesuatu yang nggak terduga dan sangat berguna di masa depan nanti. Oke?"
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...