11 - Sisi Lain I

3.7K 739 145
                                    

Menempuh tahun senior agaknya merupakan perjuangan tersendiri bagi Reno, Arif, Fauzi, Harsya, dan Galih. Di saat William memperbarui aktivitas lewat media sosial berupa kongkow bersama teman sekelas, maka kelima orang itu kini duduk melingkar di ruang keluarga rumah Reno, membuka dan mengerjakan soal-soal latihan ujian nasional.

Kediaman daerah Hang Lekir, Kebayoran Baru itu, diisi oleh sang tuan rumah beserta keempat tamu spesialnya, dan beberapa pekerja rumah tangga.

"Hmm, maaf nih, Reno. Mau tanya, orang tuamu ke mana?"

"Bokap nyokap gue di rumah dinas dubes Austria. Ada acara di sono. Mereka udah berangkat dari pagi. Kalo mau tambah cemilan, ambil aja di lemari atau kulkas dapur. Jam satu pas selesai belajar, kita makan bareng di kamar gue."

Disahut cermat betul, manakala ditanya Fauzi dan semuanya, sehabis menyentuh sejuknya lantai teras rumah Reno.

Entah apa yang merasuki jiwa Reno, ia mengundang teman-teman sesama kelas 12 termasuk Harsya untuk menyegarkan otak. Siapa tahu banyak materi yang masuk di kepala, jika ditemani para siswa dari sekolah berbeda?

Tidak enak terus berdiam diri, Harsya bermaksud memecahkan hawa kaku pukul sebelas siang ini.

"Bulan ini musim kawin kayaknya, ibu gue dari pagi aja sibuk bantu-bantu di rumah RT sebelah."

"Kondangan?" Pancing Arif, Harsya mengangguk yakin. "Sama, ibu gue juga jadi seksi masak rendang bantu hajatan Pak RW."

"Mamaku sih di rumah, cuma besok pas kita mulai kerja pertama kali, beliau ada acara resepsi kawinan di Bandung. Gue diajak sih, cuma mau gimana? Duit buat berobat Eli lebih penting." Fauzi tak mau kalah. Dimainkannya pensil mekanik di tangan kiri.

Reno fokus membolak-balik buku cetak, mengesampingkan Galih yang menatapnya heran.

"Gue bingung sama pelajaran di sekolahnya Reno."

Celetuk spontan Galih lantas menghentikan Fauzi yang tengah mengajarkan Harsya bahasa Inggris.

"Ini apaan lagi.. segala ada mapel sejarah dan informasi teknologi di masyarakat global, bahasa Inggris A, seni visual.. lu SMA apa kuliah sih sebenernya?"

Ingin Arif tertawa, namun memilih untuk ditahan kala menangkap hela napas Reno.

"Si William belajar ginian juga? Busett.."

Terkejut terheran-heran si Galih.

"William malah ngambil ekonomi sama bisnis manajemen, Bang. Niat bener keluarganya pengen bikin dia jadi pewaris tahta." Kata Harsya sambil terus menulis.

"Gile.. duit jajan lu sebulan berapa, Ren?" Siku Galih menyenggol canda lengan Reno. Kontan Fauzi dan Arif ngakak.

"Sehari sih bisa dua ratus sampe lima ratusan, tergantung gue maunya berapa dan mereka seikhlasnya gimana. Lagian sering sisa kok buat gue tabung." Lirih Reno.

"Horang kayaaahhh!!!" Galih bertepuk tangan. "Mentok-mentok gua aja dikasih goban sehari, bruh!"

"Lu merendah buat meroket apa gimane, hah?! Strata sosial lu berdua tuh sama! Emang dasar lu males belajar, pengen cepet kerja, biar bisa cepet nikah, makanya ngikutin gue!"

Padahal, Arif tidak menyematkan sirat serius dalam ucapannya. Namun dalam hati Galih membeku. Kok bisa Arif tahu niat jujurnya masuk SMK teknik?

Walau ada alasan utama lain, di mana Galih ingin mengembangkan kemampuan dan mencapai impiannya itu di salah satu negara yang dijuluki macan asia.

Bertolak ukur pada besar pengalaman dan pendapatan, diam-diam Galih menargetkan Jepang sebagai destinasi idamannya dalam mencari nafkah.

"Emang gini mapel sekolah gue, cuy.. standar kurikulum ngikutin internasional, bahkan kalo bisa nilai tuh wajib di atas rata-rata standar seluruh dunia. Makanya pas bokap nyokap tahu gue kendor dikit aja, gabunglah gue sama kalian sekarang."

AKARSANA ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang