"Shadaqallahul 'azhim."
Seiring buku kitab suci itu tertutup usai dibaca selepas shalat isya', suara pintu terketuk dari luar menggugah jiwa Reno menapaki kenyataan, memindahkan Choco yang semula berada di pangkuannya ke atas karpet.
"Kenapa, Ma?"
"Mama baru bikin kue. Reno mau?"
"Mau. Sebentar, Reno beres-beres dulu."
"Mama tunggu di bawah, ya."
Selama menjalani saran mama menjadi pegawai katering Tante Shafira, hubungan Reno dengan para penghuni rumah tidak lagi canggung dalam bertegur sapa dan berbincang. Tadi pagi, papa memuji nilai-nilai ulangan hariannya yang semakin membaik. Mama tidak memaksa menemaninya arisan. Choco betah diajak bermain sampai baru terlelap sekarang.
Isi tas pun tak lagi dicurigai serta diperiksa, apabila ada sesuatu di luar kebutuhan perlengkapan sekolah. Mengalir jernih.. bagai aliran mata air pegunungan.
Di ruang makan, mama memotong-motong lapis surabaya buatannya, membagi adil ke beberapa piring, diberikannya pada salah satu asisten rumah tangga, agar para pekerja dapat ikut menikmati hidangan lezat itu.
Senyum Reno terlukis sedemikian rupa. Mama memang pembela ulung dirinya, walau sejelek apapun sifat Reno berulah, mama seringkali menasehati tanpa menekan penuh atas kemauannya.
Segelas teh manis hangat diterima lelaki berpiyama kaus dan celana pendek itu, tak lupa mengucap terima kasih kepada papa.
"Besok kakakmu pulang, kemungkinan malam ini dia udah transit di Dubai." Papa mengumumkan.
Ada titik cerah bersambut di sini.
"Kangen pasti pengen tidur sama Kak Irene, ya kan?" Tambah papa seraya mengelus kepala anak keduanya. "Seminggu ini dianter jemput ke sekolah dan restorannya sama Kak Irene dulu, nggak apa-apa? Pak Budi mau pulang kampung soalnya."
"Boleh, nggak masalah. Tumben Kak Irene pulang, ada apa nih? Kok aku nggak dikabarin?" Tanya Reno penasaran.
Mama berdeham, kemudian menyodorkan piring kue ke arah Reno.
"Irene kangen sama adiknya, yang setiap jam istirahat di sekolah selalu kirim chat tentang kesenangannya kerja di katering Tante Shafira. Sekali-sekali, dia mau dengar dari mulut si adik sendiri."
Tersipu, peraih medali perak di olimpiade bahasa Inggris nasional itu lantas sok sibuk melahap kue. Papa dan mama saling tatap menahan tawa.
"Kalian boleh main dan jalan-jalan, kalau rata-rata nilai simulasi UN kamu sembilan ya, Ren."
Siku mama menyenggol keras lengan Reno.
"Tuh, dikasih hadiah sama papa."
Si adik tetap diam, semakin memenuhi isi mulutnya, menambah gelak hibur bagi orang tuanya.
"Kenapa sih, Ren? Kamu takut sama papa? Ngomong dong.. jangan-jangan malah lagi sariawan ya kamu?" Lengan pria berkaus singlet dilapisi sarung itu mengapit leher Reno, mengusap pipinya lembut.
"Ren," tegur mama lembut. "Bilang apa sama papa?"
Sehelai napas tertarik kuat-kuat.
"Makasih, Pa, Ma.." kata Reno akhirnya.
"Alhamdulillah. Sama-sama, Nak. Kirain anak Papa lagi cosplay jadi Limbad." Kelakar si bapak presiden direktur.
"Tapi, Pa.. Ma. Reno boleh minta tolong sama Papa dan Mama?"
Raut wajah serius di jam minum teh yang sungguh di luar dugaan.
"Kenapa? Kamu mau minta tolong Papa buat jodohin kamu sama Luna Maya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...