"Udah, Sya. Penjahatnya udah ketangkep semua kok. Muke lu udah lecek bener ini."
"Huhuuu.. GUA TAKOT, BANG! Gua mana pernah seumur hidup megang gituan sih, Bang Reno?? Gemeteran anjir pas disuruh papinya Bang Galih! Kalo malah kena Bang Arif, gimanaaa?? Huuaaaa!"
Seperti itulah Harsya meluapkan emosi, ditenangkan oleh Reno, ditemani Fauzi dan William di luar kantor tempat Papi Galih bekerja melayani masyarakat, menunggu Arif dan Galih selesai diperiksa menjadi saksi sambil beristirahat sejenak menikmati minuman ringan.
Angin sejuk siang itu perlahan menepikan bias resah dan ragu, menipiskan trauma, menguatkan pendirian, bagi keempat remaja yang terbengong-bengong duduk di kursi plastik.
Memang, aksi sok maskulin Harsya sempat mengagetkan mereka semua, namun bila saja terlambat walau hanya satu detik.. bisa dipastikan nyawa Arif sulit diselamatkan.
"Sya, dengerin gue." Fauzi memindahkan kepala Harsya dari lengan Reno, bersandar di bahu kanan bidangnya. "Lu jadi cowok emang kudu maju di garis depan, dan apa yang lo lakuin tadi tuh udah bener banget. Oke, lu takut banget, kita ngertiin itu. Tapi lu pernah mikir, nggak? Superhero tuh nggak selalu orang lebih tua, pake kostum bagus, otak cerdas. Bukan."
Telapak tangan Fauzi menyentuh bagian atas dada Harsya.
"Dia ada di sini, hati nurani lo sendiri."
Jangankan William, Reno bahkan sulit menyembunyikan kekaguman yang Fauzi berikan umtuk Harsya.
"Nanti, kalo Arif sama Galih udah kelar urusannya, lu jangan nangis lagi. Oke?"
"I-iya, Bang Fauzi. M-makasih, Bang."
Di tengah cara Reno melepas dasi yang menghiasi kerah kemeja putih, senyumnya terlihat manis saat membelai kepala si adik bungsu kelompok.
"Justru kita yang harus berterima kasih sama lo dan William, Sya. Andai William nggak nyusul Jana duluan, lo nggak sok ngide cari kita lewat Fauzi, kita mungkin udah jadi santapan si buaya amazon beneran."
"Bang Fauzi nggak lihat sih gimana bokapnya Tante Shafira mau nyerang Bang Arif. Hiiihhh... makin diinget tuh makin bikin gue nggak nafsu makan!" William bergidik menggeliat, diangguki sekilas oleh Reno. "Orang kayak gitu bisa-bisanya suka sama papa kita?? Arghh.. such a disgusting mud-blood!"
"Ngapain gila gua lihat?? Amit-amit!" Fauzi buru-buru menggosok kedua lengannya.
"Eh, terus makanan di tempat resepsi diapain, ya? Kan sayang kalo mubazir."
Harap memaklumi mode otak Harsya yang belum makan apapun sejak pagi.
"Kalo dari yang gue tahu dulu, biasanya bakal dibungkus terus dibagi-bagiin ke panti asuhan terdekat." William menjawab datar.
"Kurang baik apa coba Tante Shafira? Heran gue tuh." Desah Reno tak paham. "Cantik-cantik kelakuannya super duper nggak jelas. Sebentar baik, terus psycho, kadang perhatian, dewasa, tiba-tiba udah tahu apa aja yang bakal kejadian di masa depan. Ada ya orang model begitu?"
"Ada, Ren, dia doang." Tanggap Fauzi ringan. "Ngomong-ngomong, gue penasaran... Tante Shafira sama Mas Leon pergi ke mana, ya? Galih tadi diantar anak buah papinya buat temenin Jana sama Mama Jana ke rumah sakit, habis itu balik lagi ke sini. Arif pergi ke kantor polisi juga bareng kita. Masa' iya mereka bisa lolos gampang banget?"
"Please jangan tanya Acha. Acha pusing, Bang, kalo disuruh mikirin orang jenius ngumpet di mana."
Entahlah. Harsya malas berpikir, ia kemudian bangkit berdiri dan melangkah menyeberangi jalan demi jajan sepiring ketoprak.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...