"Bu, Acha kangen Tante Shafira sama Mas Leon deh."
Selembar kemeja putih Papa William berhenti disetrika uap oleh ibu, setelah mendengar Harsya duduk berkata di ruang laundry sambil memainkan ponsel.
"Kamu udah lama nggak kerja, ya? Abang-abang lain lagi pada ujian juga sih. Memang Leon sama Shafira masih kelola itu restoran?"
"Kata papanya Bang Reno masih aktif, Bu. Sesekali mereka dateng ke restoran, cuma nggak tahu kateringnya tetep jalan atau nggak."
"Sibuk kuliah kali, Cha. Nanti aja ketemu kalau kamu mau kasih surat resign, bareng sama yang lain."
"Surat resign tuh maksudnya ngundurin diri kan, Bu? Bedanya apa sama dipecat?" Tanya Harsya sambil membantu memasukkan pakaian yang sudah rapi ke dalam keranjang.
"Kalau dipecat itu, misalnya Shafira keluarin Acha dari kerjaan, terus Acha dikasih uang pesangon alias gaji terakhir. Tapi tergantung, Cha. Kalau ada orang terpaksa dipecat padahal kerjanya bagus, tapi karena perusahaan lagi ada perampingan pegawai gara-gara pailit atau bangkrut, ya uangnya dibanyakin. Kalau sebaliknya... bisa jadi malah nggak digaji secara nggak hormat." Ibu menjawab sabar.
"Tapi kata Bang Reno, kalau kita resign nanti.. kita pasti dikasih gaji terakhir. Itu sama juga, nggak?" Keingin tahuan Harsya yang tinggi kembali berlanjut.
"Nah, kalau resign... dikasih jumlah gaji terakhirnya itu sesuai sama bulan-bulan sebelumnya, kalau tanggal kamu putusin keluar itu sama dengan tanggal masuk kerja. Kalau kurang dari itu, biasanya dihitung harian atau per minggu. Tapi tergantung perusahaan juga sih, Cha, nggak semuanya sama."
"Oohh.. gitu ya, Bu. Acha baru tahu lho, maaf kalo banyak nanya. Hehehee.." cengirannya mengembang, mewarnai perasaan senang ibu.
"Nggak apa-apa, malah bagus kamu sering nanya daripada diem-diem aja." Ibu membelai kepala Harsya hangat. "Ngomong-ngomong, kok tumben kamu kangen sama Shafira? Kenapa? Naksir?"
"Kok Ibu tahu?" Harsya tercengang heran. "Gimana nggak kangen coba, Bu? Biasa tiap habis pulang sekolah dari Senin sampe Kamis cuci piring, Sabtu apa Minggu gitu bantu-bantu di katering, ketemu temen-temen baru, disenyumin lagi. Kalau Ibu cantiknya pertama di hidup Bapak sama Harsya, nahh.. Tante Shafira tuh nomer duanya, Bu!"
Semua berawal dari ruang curhat yang diadakan Fauzi di group chat, menceritakan bahwa ia dan Berlian berencana ke pantai usai pengumuman kelulusan, di mana Galih tak mau kalah ingin mengajak Jana.
Sementara perasaan Reno belum reda terombang-ambing tentang Sissy, Arif dan William memaknakan kata terserah asal mampu meredam stres.
Tentu Harsya jadi berpikir, mungkin akan lebih menyenangkan bila ia pergi bersama Tante Shafira.
Di sinilah tawa kencang ibu terdengar sampai ruang makan, saat lontaran kalimat Harsya ditangkapnya lucu.
"Hahahahah! Ya ampuunn, Achaaa.. anak Ibu udah gede ternyata. Dulu, mamanya William suka beliin mainan mahal banyak banget buat kamu, sampe beberapa ada yang dijual bapak buat bayar cicilan rumah. Sekarang, Harsya udah bisa muji cewek. Pinter banget." Ibu mengusap-usap pipi memerah Harsya.
Jangan tanya mengapa Harsya tiba-tiba berpikir demikian, jika mengutip perkataan Galih.. sudah waktunya bocah ini merasakan nikmatnya cinta semasa sekolah.
Ya tapi nggak sama Tante Shafira juga dong, Galih.
"Apaan sih, Ibu.." elak Harsya tengsin.
"Eh, nggak apa-apa. Kamu kapan mau dateng ke restoran lagi?"
Dikira ibu akan menceramahinya, menyuruhnya fokus sekolah, menganggapnya anak bayi seumur hidup, malah justru sikap suportif ibu terasa menyenangkan ditanggapi Harsya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...