Kelelahan, simpul dokter tugas di kantor Papi Galih usai menangani kondisi Reno. Wajah-wajah lelah, kucel, belum mandi, dan baru memakai seragam kembali, seakan memancar ketidak tegaan untuk Papi Galih resapi. Anaknya merajuk, teman-temannya meninggalkan sekolah demi sebuah misi tak terduga.. pusing betul.
"Om udah hubungi orang tua kalian buat jemput di sini aja. Barang-barang yang ketinggalan di sekolah juga udah diambilin dan dibawa ke ruang loker sebelah, kalian bisa ambil pas mau pulang." Tutur Papi Galih lembut menenangkan. "Kalau boleh Om minta tolong, bisa nggak kalian fokus dulu sama ujian dan kerja? Jangan mikirin hal lain, bener kata Shafira sama Leon."
"Jadi itu yang membuat Om nggak mau Galih banyak berulah?" Arif langsung menerka, diangguki oleh Papi Galih seksama.
"Karena umur kalian dan si calon mempelai wanita ini seumuran, Om rasa dia akan lebih nyaman sama kalian, sisanya biar jadi urusan saya, Shafira, dan Leon."
William menggaruk dagu bingung. "Saya agak kurang setuju, Om. Kalau Om kenapa-kenapa, Bang Galih juga pasti khawatir. Jangan semuanya Om ambil alih, apa gunanya kita punya otak di sini kalau nggak dipake?"
Si buruh pencuci piring paruh waktu itu ada benarnya, tak luput dari persetujuan Fauzi dan Harsya.
"Selama saya temenan sama Galih, saya emang dibikin emosi terus. Tapi dia nggak jahat, Om, apalagi bahayain diri sendiri. Galih bener, dia cuma pengen tunjukkin rasa setia kawannya sama kita, dedikasinya kerja di katering, dan pengen Om sama tante perhatiin dia. Itu aja." Urai Arif, mengingat di setiap curhat colongan Galih selalu tersimpan betapa ingin sahabatnya itu lebih dekat dengan keluarga.
Semua orang di dalam klinik menunggu Reno siuman, tidak menghiraukan suara pintu terbuka, memunculkan dua pasang orang tua dari kumpulan remaja itu tiba.
Papi Galih kemudian terkejut menyadari, menyalami mereka satu per satu, menggesturkan kepala ke arah anak-anak yang tertunduk murung.
"Harsya."
"Bapak? Ibu?" Si bungsu kelompok mengerjap kaget, memeluk keduanya erat.
"Pulang, yuk? Ibu udah masak makanan kesukaan kamu, besok kamu juga masih harus sekolah, kan?" Ibu Harsya membelai sabar surai anak lelakinya, diikuti oleh bapak. "Bilang apa ke Papinya Galih?"
"Makasih banyak, Om. Maafin Harsya atas keributan hari ini." Harsya mencium tangan Papi Galih, hampir menangis bila bapak tidak memijat-mijat tengkuknya pelan.
"Sama-sama. Jangan lupa selesein PR kalau ada."
"Iya, Om."
"Kita undur diri dulu, bruh. Big thanks pokoknya." Tangan bapak dan Papi Galih saling mengerahkan tos, Harsya pun melambai lemah pada abang-abangnya.
Terlepas dari perginya satu personil, William enggan bangkit dari duduk meski papa dan mamanya telah mengapit bocah itu. Rasa bersalah Arif telah sok ide menghubungi teman-temannya sehingga mereka terkesan kena getah tak diinginkan, menjadikan lelaki itu keluar ruangan demi menerima pasokan udara segar.
Tak dinyana, Fauzi mengekor dari belakang.
"Kita udah mau selesai sekolah, tapi dikasih cobaan baru sekarang." Cakap Fauzi memulai, memberikan sebungkus permen KIS warna biru dari Berlian yang tersimpan di saku celananya kepada Arif.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...