"Capek guuueee!"
Sebuah spons cuci disentak kasar oleh seorang lelaki bercelemek merah muda, mengumpat dan menarik serta membuang napas perlahan-lahan usai berkutat dengan cucian piring, gelas, dan cutleries kotor selama hampir satu jam.
"Sabar, tinggal setumpuk lagi ini. Buruan diselesein, habis itu kita istirahat!" Sang teman menyemangati, tengah mengeringkan deretan piring memakai kitchen towel, lalu meletakkannya berhati-hati di rak bawah.
Terpaksa, William Geraldy Zhong atau biasa dipanggil William, mengiyakan lemah sambil mengerutkan kening bingung. Menatap betapa gembira sahabat karib kecilnya, Harsya Ghanizelo alias Harsya, bersenandung menikmati pekerjaan paruh waktu pertama di hidupnya itu.
"Segitunya banget lo pengen kadoin nyokap jam tangan?"
Mengesampingkan nada tanya songong dari mulut William, Harsya tersenyum.
"Gue nggak seperti lo yang setiap hari bisa beli benda seharga sepuluh juta, bro."
"Apa susahnya tinggal ngomong sama gue sih, Sya? Koleksi jam tangan nyokap gue udah terlalu banyak sampe dia lupa punya yang mana aja, nggak pernah dibuka pula kotaknya. Masih virgin bau toko. Gue yakin nyokap lo pasti suka juga! Selera mereka sama, gue tahu itu!"
"Terus gue kudu bilang apa sama nyokap gue, Will? Bisa-bisa gue digebukin, dikira nyolong di rumah lo." Putus Harsya. "Lagian kenapa lo ikut gue kerja sih? Orang tua lo emang tahu?"
"Gabut gue di rumah. Bosen. Mending ikut lu, ya nggak?" William merangkul bahu Harsya usai melepas sepasang sarung tangan karet. "Lo tenang aja, Tante Shafira itu sohib nyokap. Mereka bahkan nggak masalah gue di sini, daripada gue nongkrong nggak jelas, enakan bantuin lu lah. Dapet duit, pemandangannya bagus lagi."
"Pemandangan bagus apaan?" Tanya Harsya.
"Tuh."
Sorot mata Harsya mengikuti ke mana jemari William mengarah. Oh, geng cewek berseragam SMA rupanya. Bagaimana William cengar cengir menonton kawanan pemakai rok pendek setengah paha, kemeja putih OSIS ketat, kaus kaki putih setinggi lutut, full make up, rambut tergerai sempurna, kepala Harsya lantas menggeleng tak habis pikir.
"Heh, modelan hawa kinclong di sekolah lo banyak, Will. Dari bule asli, asia tulen, indonesia eksotis, darah campuran kece, kurang emang?"
"Jelas kurang lah! Di sekolah gue, pasti bahasanya full english atau campur indonesia. Rata-rata udah punya pasangan juga. Emang mereka mau sama gue?"
"Mau lah pasti. Gue aja mau sama lo."
"JIJIK WOY!!" William menoyor jidat Harsya kesal. "Eh tapi, udah seminggu kita di sini. Nggak enak juga ya, temen kerja pada lebih tua semua, padahal asyik kalo ada yang seumuran."
"Emang kok. Bosen gue lihat lo terus."
"Katanya lo mau sama gue, gimana sih?" Decak William heran.
"Jelas kali gue mau sama lo. Kan enak tiap pulang sekolah ke tempat kerja naek mobil disupirin gratis, sampe rumah juga nggak keluar ongkos. Hehehe.."
"SEMPRUL TENAN KOWE, SYA!!"
***
"Wiihh.. anak-anak lagi pada ngapain nih?" Tante Shafira datang menyambut, menyapa William dan Harsya yang baru selesai menunaikan kewajiban mereka bersih-bersih area dapur jam tujuh malam ini.
"Eh, Tante. Malam, Tante. Kita udah mau pulang, kebetulan udah beres semuanya." Harsya menjawab sopan.
Lantai kesat, bench rapi, isi chiller tertata apik, botol-botol saus, kecap, minyak goreng, dan bumbu-bumbu lain sesuai pada tempatnya. Sungguh aneh menurut Tante Shafira, duo anak muda ini sangat cekatan dalam bekerja. Meski ia tahu, yang serius hanya Harsya, William bagian ikut-ikutan asal senang hati.
"Mau pada makan dulu, nggak?"
William buru-buru mengibaskan tangan. "Wah, terima kasih banyak, Tante! Nggak usah repot-repot. Saya nanti makan di rumah Harsya, nggak enak soalnya ibunya udah masak banyak."
"Oh, begitu?" Tante Shafira tampak tertarik. "Ibu kamu suka masak ya, Sya?"
"Lumayan suka, Tante. Kalau pagi sama siang suka jual lauk di depan rumah, kayak warteg sederhana gitu, hehee.. kapan-kapan mampir ya, Tante. Cobain." Tawar Harsya sumringah.
"Tuna woku buatan ibunya Harsya enak lho, Tante." William tak kalah menimpali, sekaligus mengunggulkan kemampuan orang tua sahabatnya itu.
"Pasti. Besok kamu bawa hasil masakan ibumu ya, Sya? Kalau cocok, saya beli lagi buat bekal ngampus."
Sudah cantik, baik hati, perilaku bak dewi, dewasa, matang, perhatian, menyesal batin Harsya dan William, mengapa rasa kagum berkuntum cinta kasat mata kepada Tante Shafira, harus terhalang oleh usia.
"Ya udah, kalian cepet pulang gih. Udah malem. Jangan lupa, hari Jumat, kalian ke sini. Saya tahu itu jatah kalian libur, tapi ada hal penting yang mau saya diskusiin sama kalian, Sya.. Will.."
Sepasang pemuda itu saling tatap tak mengerti.
Sementara Tante Shafira melukiskan pendaman senyum misterius, kemudian membenahi scarf di leher seraya menepuk bahu William dan Harsya bersamaan.
"Tenang aja, keinginan kalian untuk dapet temen kerja yang masih sama-sama sekolah, bakal terwujud sesegera mungkin."
***BERSAMBUNG***
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...