"Kadal bunting."
Desis menyebalkan keluar dari mulut Galih, mendapati dirinya pertama kali sadar dari mimpi panjang entah berapa lama, ketika lima orang sedang terbujur berbaring terperangkap di dalam sebuah chiller bersuhu 8°C.
"Di mana sih ini?"
Sulit bagi Galih berucap. Bibir kering, terasa sakit digerakkan, ditambah sebuah tempat asing memintanya dikenali. Jelas bukan di restoran, Galih tahu itu.
Sambil berusaha merangkak, Galih mencoba menggoyangkan betis Arif. Serpihan es batu menghiasi rambut mereka berdua, bahkan Galih sulit merasakan denyut nadi sang sahabat.
"Riiff, banguunn.." suara Galih mengisi kekosongan benda sebesar closet milik mami di rumah. "Heh, melek lu, kampang! Buruan!"
"Ariiff.. jangan bikin gua takut ape, Riiff.."
"Bangun, pe'a! Gua kedinginan iniii! Ntar sape lagi yang mau temenin gua godain cewek di burjonan kalo lu mati sekarang, setan?!!"
Usaha lelaki itu negatif, Arif tetap bergeming. Walau sempat terjatuh pelan, sepasang tangan Galih tetap menopang tubuh agar tetap merayap, membangunkan satu per satu rekan kerja paruh waktunya.
"Ya Allah, tolong beri hamba dan teman-teman hamba kekuatan."
Yang lelaki ber-hoodie merah marun itu yakini, mereka semua berada di dalam chiller standar hotel berbintang. Nalurinya mendeteksi perlahan, mencari-cari titik temu demi menyelamatkan mereka.
Galih kemudian berusaha berdiri, menggosok-gosokkan telapak tangan supaya aliran darah cukup lancar, mengambil sebuah tongkat kayu hitam di pojok kanan, menyisir keadaan.
Nah, firasat si anak tunggal Pratama memang tak pernah salah. Kamera CCTV tepat mengarah ke bagian selatan, merekam wajah kesalnya.
"Brengsek! Ini kerjaan si Dohen apa Om Bagas sih? Terus kenapa cuma kita berenam? Cewek si Oji ke mana??"
Desah tak mengenakkan muncul dari mulut William, diikuti oleh Fauzi.
"Ya Allah, ini kita di mana?"
Fauzi celingukan, menghampiri William yang tertatih melangkah mendekati Galih.
"Bang Galih.."
"William! Fauzi! Kalian berdua nggak apa-apa??" Tangan si jagoan angkatan 39 itu mengecek kondisi keduanya panik.
"Selow, Gal. Cuma kepala gue pusing banget.. asli. Mana dingin banget lagi."
Tangan Fauzi tidak berhenti mengeratkan jaket, karena hanya mengenakan setelan seragam sekolah. Berhubung sehabis mengembalikan buku ke perpustakaan sekolah langsung mampir ke tempat janjian, dan datanglah musibah tak diundang itu.
"Sama," William menimpali. "Ini tuh kayak kulkas tahu, Bang. Tapi gede banget."
"William bener. Kita disekap di dalem chiller, tapi gue nggak nemu bahan makanan sama sekali, cuma ada ini." Galih mengangkat tongkat yang ia pegang. "Sial, dia mau bikin kita mati beku sia-sia."
"S-siapa-a m-maksud l-lo?" Tanya Fauzi gemetaran.
"Pak Dohen, kan?" Tebak William langsung, dijawab berupa anggukan dari Galih. "Astagaa.. dia nggak ada kerjaan apa gimana sih? Bukannya dia udah masuk penjara?"
"Kayak lu nggak tahu aja dunia keluarga kita, Wil! Dufan bisa disewa sehari buat lo doang, apalagi tinggal kasih suap jaminan penghidupan ke anak istri sipir rutan. Beuh, receh buat dia mah!"
"Gile, mulut Ko Reno nggak kalah bocor dari AC rusak.." rutuk William kesal mendengar Galih membuka aib soal hari ulang tahunnya ke-13, di mana papa dan mama menuruti maunya menaiki semua wahana di pusat taman hiburan tanpa antri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...