"Kok lu nggak bilang, Wil, kalo lu ada ujian akhir juga? Kan kita bisa belajar bareng."
Selama acara makan malam bersama di pinggir trotoar, William memang lebih banyak diam sejak ia meluruskan status pelajarnya, mendengar nasehat kakak-kakak kelas.
"Gua cuma nggak mau ganggu Bang Arif sama lainnya kok. Gampang gue mah, kan nggak ikut UN."
"Tetep aja, Wil, kita semua posisinya sekarang tuh senior di sekolah. Emang lu nggak mau banggain bonyok, gitu? Oke, anggep aja mereka nggak peduli sama lo. Tapi mau sampe kapan? Gimana pun lo ntar yang jadi generasi penerus taipan di negara lo." Ujar Galih.
"Taipan tuh apa sih?" Harsya bertanya ringan, terserah mau dijawab siapa, sambil mengunyah isi piring gultik kedua.
"Pernah nonton Crazy Rich Asians, Sya?" Fauzi menepuk paha si adik.
"Belom, Bang. Itu film tentang apa? Ada Disney princess-nya, nggak?"
Berlian dan Fauzi berpandangan menahan tawa. "Ceritanya tentang orang-orang konglomerat di Singapura, Sya."
Mulut Harsya menganga, memandang William takjub setelah mendengar kata Berlian.
"Jadi museum koleksi tas Hermés di rumah lu ada di Singapura juga, Wil?"
Gerah, William membuka jaket. Mengaduk-aduk sisa nasi gulainya malas. "Iya, ada. Tapi Bang Galih lebeh sih, taipan mana hari gini nelantarin gue?"
"Nggak boleh ngomong gitu, Wil." Berlian menepuk punggung William lembut, sesekali memperbaiki letak jaket Fauzi yang menutupi rok seragam abu-abu selututnya.
"Kesel gue, Kak.." cetus si pemilik bibir tipis itu. "Toh selama ini nilai gue baik-baik aja kok. Nggak usah khawatir deh kalian, gue bisa belajar sendiri. Mending Kak Berlian sama Bang Fauzi ajarin Harsya aja noh, serius."
"SHOMBONG AMAT." Ucap Reno meniru sosok Mandra di sinetron Si Doel. "Minggu depan, nggak ada main-main pokoknya. Kita belajar bareng di rumah gue, dan buat elu berdua, kurangi pacaran. Hormati kami yang jomblo."
Ditunjuk tak santai oleh Reno menggunakan lembaran tisu gulung, Fauzi terkejut.
"Gigi lo bagong ngatur-ngatur gue sama Eli, Ren?! Eli udah jadi cewek gua sebelum kenal lu pada!"
"Justru itu, pren.. kalo lu nggak mau kena peluru bius atau senjata aneh-anehnya Reno, mending lu turutin dia dah. Suer." Sahut Arif tenang, disambut tawa kencang Berlian, Harsya, dan Galih.
Ingat di mana titik lemah Reno belakangan, seringai Fauzi timbul tenggelam, mengagetkan Berlian.
"Halah, persetan sama senjata. Tinggal gua kasih Sissy depan muka Reno, paling langsung jinak."
"GILA SI OJI! GUA SUKA GAYA LU! HAHAHAHAH!" Puas Galih, tanpa mempedulikan tatap setajam laser dilayangkan oleh korban kejahilan malam ini.
"Ngomong sekali lagi, nggak gua beliin wedang ronde lu semua." Pungkas Reno menolehkan semua kepala ke arahnya. "Ape lihat-lihat?! Baru tahu ada orang secakep gue apa gimana??"
"Galak bener, Pak Chandra." Desis Fauzi.
"Tumben baik mau traktir. Ada mau pasti." Arif keburu berprasangka buruk.
"Serius, Ren? Kalo iya, gue pesen tiga mangkok nih. Sekalian bungkusin buat papi sama mami di rumah!"
Maruk benar kau, Galih.
"Ko, lu mau traktir kita wedang ronde? Nggak salah?" William mengerjap berbinar ria. "Wahh.. kemajuan banget!"
"Maksud lu apa, Wil?" Fauzi memajukan kepala, meminum setengah gelas teh manis hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKARSANA ✔️
FanfictionArif, Galih, Reno, Fauzi, William, dan Harsya bersekolah di tiga tempat berbeda. Sama-sama membutuhkan pekerjaan tambahan dalam penyelarasan hidup, mereka kompak bekerja di restoran yang menyediakan jasa katering milik Tante Shafira setiap hari Sabt...